Jumlah dan Mutu Produksi Tanaman

Muhammad Hatta

 

Tanaman baik pertumbuhan maupun produksinya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu genetika dan lingkungan tempat tumbuhnya. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik, maka kedua faktor tersebut harus berada dalam kondisi yang optimum. Demikian pula halnya dengan produksinya, jumlah dan mutu produksi tanaman akan maksimum bila kedua faktor utama tersebut berada dalam kondisi yang optimum. Secara matematis, para ahli pertanian sering menuangkan hubungan penampilan tanaman dengan faktor genetika dan lingkungan ini dalam suatu persamaan P = G + E, di mana P adalah penampilan tanaman (phenotipic), G adalah genetik dan E adalah lingkungan (Environment). Bila salah satu dari kedua faktor tersebut tidak optimum, maka pertumbuhan dan hasil tanaman tidak akan maksimum.

Faktor genetika terkait dengan keanekaragaman hayati (biodiversity). Menurut Mardiastuti (1999), pengertian keanekaragaman hayati adalah kelimpahan berbagai jenis sumberdaya alam hayati (tumbuhan dan hewan) yang terdapat di muka bumi. Semakin tinggi keanekaragaman hayati maka semakin berlimpah pula sumber pilihan yang tersedia. Dengan demikian, bila keanekaragaman hayati tinggi, maka kita bisa memilih untuk mendapatkan tanaman yang terbaik.

Kemampuan kita memilih tanaman ini mempunyai konsekuensi terhadap hasil akhir yang akan kita tuai. Bila susunan gen dari tanaman yang terpilih itu baik dan sesuai dengan lingkungannya, maka baik pulalah penampilan tanaman tersebut. Sebaliknya bila susunan gen tanaman terpilih buruk maka buruk pula penampilan yang akan diperlihatkannya nanti.

Keberadaan faktor genetika dalam fungsinya terhadap fenotipe tanaman adalah tunggal, yaitu hanya susunan gennya yang ada pada tanaman tersebut saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Sebaliknya, keberadaan faktor lingkungan adalah jamak. Faktor lingkungan ini bisa berupa lingkungan biotik dan juga lingkungan abiotik.

Lingkungan biotik bisa berupa hama, penyakit, dan gulma. Ada banyak jenis hama dari yang berukuran besar seperti babi (manusia juga termasuk) sampai yang berukuran sangat kecil, seperti tungau. Demikian pula penyakit, banyak dan beragam sekali jumlahnya. Gulma juga tidak kalah beragamnya. Keberadaan makhluk biotik ini umumnya bersifat negatif. Artinya, kehadirannya membawa kerugian bagi pertumbuhan dan hasil tanaman. Kekecualian ada pada beberapa jenis mikroorganisme seperti rizhobium, mikoriza, dan sedikit jenis lainnya.

Lingkungan abiotik dapat dibagi menjadi iklim mikro dan kondisi tanah (media tumbuh tanaman). Iklim mikro ini memiliki banyak sekali unsur-unsurnya. Menurut Encyclopedia Britannica (2012), iklim mikro adalah kondisi iklim dalam wilayah yang relatif sempit, beberapa meter atau kurang di atas dan di bawah permukaan tanah dan dalam kanopi vegetasi. Kondisinya tergantung pada suhu, kelembaban, angin dan turbulen, embun, salju, panas, dan evaporasi. Sepertinya, ada yang kelupaan, cahaya matahari tidak tersebut. Padahal cahaya matahari atau radiasi surya merupakan unsur iklim utama. Menurut Haris 1999, intensistas radiasi surya berpengaruh langsung terhadap perubahan unsur iklim mikro lainnya.

Kondisi tanah atau tempat tumbuhnya tanaman juga berunsur jamak. Setidaknya ada 3 unsur penyusunnya, yaitu hara, air, dan udara. Menurut UmassAmherst (2012) media tumbuh terdiri dari campuran bahan yang menyediakan air, udara dan hara dan juga menopang tanaman. Lebih jauh, hara dan ketersediaannya di dalam tanah sangat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak variabel, sebut saja seperti struktur, tekstur, koloid, kelembaban, pH, kation, anion, dan mikroorganisme tanah.

Untuk memprediksi jumlah dan mutu yang dapat diambil dari suatu tanaman, maka semua faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman di atas bisa digunakan. Masalahnya, jumlah faktor yang mempengaruhi fenotipe tanaman tersebut banyak sekali. Model persamaan P = G + E di atas, bila kita perincikan bisa menjadi P = G + E1 + E2 + E3 + … + En, di mana n adalah jumlah anggota dari unsur-unsur faktor lingkungan yang jumlahnya sangat banyak sekali. Dengan sekian banyaknya variabel, maka kegiatan memprediksi menjadi sulit sekali dan mungkin juga kurang berfaedah. Agar berfaedah, maka seyogianya variabel prediktor tidak terlalu banyak. Syukur-syukur bisa hanya satu variabel prediktor saja. Untuk itu, perlu “dicari” sedikit variabel yang kuat dari sekian banyak faktor-faktor yang mempengaruhi fenotipe tanaman.

Dari segi statistika, pemilihan variabel prediktor bisa dilihat dari jenis variabelnya. Ada 2 jenis variabel, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Variabel kuantitatif lebih baik digunakan untuk memprediksi daripada variabel kualitatif. Menurut Suriasumantri (1999), variable kuantitatif dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih tepat dan lebih cermat. Dengan demikian langkah pertama adalah memungut variabel kuantitatif dan menyingkirkan variabel kualitatif dari model. Menurut Sudjana (1994), ciri variable kuantitatif (yang kontinu) adalah variabel tersebut dapat diukur dengan alat.

Dari sekian banyak variabel kuantitatif yang ada di dalam model, kemudian dipilih hanya beberapa saja yang layak. Variabel yang layak dipilih adalah variabel yang memiliki determinasi dan hubungan yang kuat terhadap fenotipe tanaman. Dalam membangun model pada regresi berganda, kita bisa memilih beberapa variabel yang penting berdasarkan koefisien determinasi dan koefisien korelasi (CoHort Software, 1998). Semakin besar magnitut koefisien determinasi dan korelasi dari suatu variabel, maka semakin kuat pula daya prediksi faktor tersebut terhadap fenotipe (jumlah dan mutu) tanaman. Oleh karena itu, faktor-faktor yang demikian baik digunakan sebagai prediktor.

Masalahnya, bagaimana caranya kita tahu variabel yang mana yang memiliki daya prediksi yang kuat. Secara keilmuan, tidak ada cara lain selain dengan cara empiris, yakni melakukan penelitian lewat eksperimen. Kalau begitu, jawabannya tidak bisa sekarang karena perlu waktu lama untuk melakukan percobaan. Akan tetapi secara deduktif, kita bisa memilih beberapa variabel prediktor dengan menggunakan pendekatan teori atau hukum-hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli fisiologi tanaman. Menurut hukum minimum Leibig (1984), pertumbuhan suatu spesies tergantung pada faktor lingkungan yang paling kritis.

Pengertiannya, pertumbuhan dan juga hasil baik jumlah dan mutunya dibatasi oleh faktor lingkungan yang paling kritis. Sebagai contoh, faktor genetika bagus, hara cukup, tetapi air tidak ada, maka air merupakan faktor kritis. Oleh karenanya, penampilan tanaman tergantung pada air yang tidak ada tersebut, ya pertumbuhannya merana atau bahkan tidak bertumbuh sama sekali.

Bila kita lihat secara mendalam, dari sekian banyak faktor yang ada di dalam model, maka barangkali hanya ada 2 variabel yang menjadi faktor yang paling kritis, yaitu cahaya matahari dan suhu. Mengapa demikian, karena kedua variabel tersebut memiliki sumber yang sangat jauh dan tidak terjangkau oleh manusia. Dengan kata lain, kedua variabel tersebut tidak manageable. Maksudnya, kendatipun kita mau, karena sumbernya tidak terjangkau oleh kita, maka kita tidak dapat secara langsung memanipulasinya kepada taraf yang kita maukan. Sebaliknya variable lainnya adalah manageable. Pengertiannya, bila kita mau kita bisa menyediakan faktor-faktor tersebut kepada taraf yang optimum.

Dengan demikian sebenarnya hanya ada 2 variabel yang layak dimasukkan dalam model, yaitu cahaya matahari dan suhu. Kedua variabel ini sering digunakan untuk memprediksi pertumbuhan dan mutu dari suatu tanaman. Suhu pernah digunakan untuk memprediksi waktu pembungaan dan waktu panen. Menurut Syakur et al. (2011), pembungaan dan masak fisiologis tanaman tomat dapat diprediksi dengan menggunakan data iklim mikro (termasuk suhu) dan data parameter pertumbuhan. MacKenzie dan Chandler (2009) juga menggunakan suhu untuk memprediksi hasil tanaman dan ia menemukan bahwa ada hubungan yang nyata antara tren suhu dengan jumlah bunga dan hasil tanaman strawberry.

Berbeda dengan suhu, maka cahaya matahari lebih susah dimanipulasi. Kendatipun sumbernya jauh, suhu masih dimungkinkan untuk dimanipulasi secara langsung. Orang bisa menambah suhu dan juga bisa menurunkan suhu dengan tingkat yang tidak terlalu sulit. Di Eropa, orang membangun rumah kaca untuk meningkatkan suhu agar dapat bertanam. Di Timur Tengah orang bisa juga bertanam dengan membangun rumah tanam dengan berpendingin. Akan tetapi, cahaya matahari sulit dimanipulasi secara langsung.

Cahaya matahari bisa diturunkan intensitasnya dengan berbagai cara. Orang bisa membuat pelindung, membuat atap setengah transparan dan sejenisnya untuk mengurangi intensitas cahaya matahari. Akan tetapi orang tidak bisa (sulit sekali dan perlu biaya yang sangat mahal) menambah intensitas cahaya matahari. Dengan demikian, cahaya matahari merupakan faktor yang paling kritis. Oleh karena itu, pada hakikatnya penampilan tanaman dibatasi oleh cahaya matahari. Gardner et al. (1985) menyatakan bahwa pada hakikatnya jumlah cahaya yang diterima oleh bumi adalah konstan.

Bagi tanaman cahaya matahari merupakan unsur yang sangat penting. Proses fotosintesis yang merupakan reaksi metabolisme pembentukan karbohidrat bergantung sepenuhnya kepada cahaya matahari. Tanpa cahaya matahari, proses fotosintesis tidak akan berlangsung. Salisbury and Ross (1992) menyatakan bahwa reaksi terang dari fotosintesis tidak akan berlangsung tanpa kehadiran cahaya. Karena cahaya matahari yang digunakan untuk fotosintesis sebagian besar diterima dan diserap oleh daun tanaman, maka daun dan keadaan daun tanaman menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap jumlah cahaya yang diterima dan diserap oleh tanaman.

Jumlah dan keadaan daun berbeda-beda antara satu tanaman dengan tanaman lain. Ada tanaman yang memiliki daun yang banyak dan sehat, tetapi ada juga tanaman yang memiliki daun sedikit serta berpenyakit. Ada juga tanaman yang kondisi daunnya di antar kedua ekstrim tersebut. Tanaman yang baru tumbuh memiliki daun yang lebih sedikit dibanding tanaman yang telah dewasa. Tanaman yang telah dewasa memiliki daun yang lebih banyak daripada tanaman yang baru bertumbuh. Daun dan kondisi daun tanaman berbeda-beda pada setiap individu sehingga membentuk suatu variabel.

Sebagai organ penting, daun bertanggung jawab terhadap penerimaan dan penyerapan cahaya untuk proses fotosintesis. Seterusnya, semakin giat kegiatan fotosintesis, maka semakin tinggi fotosintat yang terbentuk. Fotosintat berupa karbohidrat menentukan pertumbuhan, hasil, serta mutu produk suatu tanaman. Dengan demikian, secara logika, daun dan keadaan daun sangat menentukan jumlah dan mutu suatu tanaman, sehingga masuk akal bila kita menggunakan variabel daun sebagai indikator untuk menduga jumlah dan mutu yang dapat diambil dari suatu tanaman. Semakin banyak jumlah daun atau semakin luas jumlah permukaan ke seluruhan kanopi daun tanaman sampai batas tertentu, maka semakin tinggi jumlah dan mutu yang dapat diambil dari suatu tanaman. Sebaliknya semakin sedikit luas permukaan daun, maka semakin rendah jumlah dan mutu yang dapat diambil dari suatu tanaman. Jebbouj (2009) mendapatkan bahwa hasil tanaman barley menurun secara signifikan akibat kehilangan tiga helai daun bagian atas.

DAFTAR PUSTAKA

CoHort Software. 1998. CoStat Version 6.311. Monterey, CA, USA.

Encyclopedia Britannica. 2012. Microclimate. (http://www.britannica.com/EBchecked/ topic/380278/microclimate. Diakses 17-9-2012.

Jebbouj, R., Brahim E. Y. 2009. Barley yield losses due to defoliation of upper three leaves either healthy or infected at boot tage by Pyrenophora teres f. teres. European Journal of Plant Pathology. Diakses 18-9-2012.

Gardner. F. P., R. B. Pearce, and R. L. Mitchell. 1985. Physiology of Crop Plants. Iowa State University Press, Iowa. Universitas Indonesia, Jakarta. 326 pp.

Haris B., A. 1999. Karakteristik iklim mikro dan respon tanaman padi gogo pada pola tanam sela dengan tanaman karet. Ringkasan Tesis. Program Pasca Sarjana Institute Pertanian Bogor. Repository.ipb.ac.id/bitstrean/handle/123456789/…/1999ahb_abstract.pdf?… Diakses 17-9-2012.

Mardiastuti (1999). Keanekaragaman Hayati: Kondisi dan permasalahannya. Yayasan BioCommunica, Bogor. Hlm. 1-8.

Salisbury. F. B. and C.W. Ross. 1992. Plant Physiology. Fourth edition. Wadsworth Publishing Company. Belmont, California.

MacKenzie, S.J. and C. K. Chandler. 2009. A Method to Predict Weekly Strawberry Fruit Yields from Extended Season Production Systems. Agronomy Journal 101(2): 279 – 287.

Sujana. 2002. Metoda Statistika. Tarsito Bandung.

Suriasumantri, J.S. 1999. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Syakur, A., Y. Koesmaryono, H. Suhardiyanto, dan M. Ghulamahdi. 2011. Analisis iklim mikro di dalam rumah tanaman untuk memprediksi waktu pembungaan dan matang fdiologis tanaman tomat dengan menggunakan metode artificial neutral network. Agroscientiae 18(2): 94 – 100.

UmassAmherst. 2012. Effects of growing media characteristics on water and nutrient management. http://extension.umass.edu/floriculture/bmb/effects-growing-media-on-water-nutrient-management. Diakes 17-9-2012.

UPI (2012). “Hukum” minimum dari Justus Von Liebig (1840). File.upi.edu/../hk,teori.pdf. Diakses 18-9-2012.

Produksi tanaman pada lahan basah

Muhammad Hatta

Pendekatan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman pada lahan basah?

Tanaman sangat dipengaruhi oleh keadaan media tempat tumbuhnya. Secara konvensional, media tempat tumbuh tanaman adalah lahan yang dapat berupa kering dan basah. Umumnya lahan kering dapat menyediakan segala kebutuhan tanam lebih baik dibanding lahan basah. Pada lahan kering, unsur hara dan oksigen yang dibutuhkan tanaman tersedia dalam jumlah yang cukup banyak di lahan kering. Demikian pula, air juga cukup tersedia di lahan kering, asal ada cukup hujan atau diberi pengairan secukupnya. Sebaliknya, pada lahan basah, ketiga unsur tersebut (unsur hara, oksigen, dan air) kurang tersedia.

Apa yang dimaksud dengan lahan basah. Lahan basah diambil dari istilah Inggris wetland, yang menurut Kamus Merriam-Webster (2012) berarti lahan atau areal seperti rawa atau paya yang kadang-kadang tergenang oleh air yang dangkal atau yang mempunyai tanah yang dipenuhi air. Menurut Ramsar (2012) lahan basah dalam pasal 1.1 dari Konvensi Ramsar menetapkan bahwa lahan basah adalah daerah paya, rawa, lahan gambut atau perairan, baik alami maupun buatan, permanen atau sementara, dengan air yang diam atau mengalir, segar, payau atau asin, termasuk daerah perairan laut dengan kedalaman pada saat surut tidak melebihi enam meter.

Lahan basah, apalagi pada saat tergenang air, memiliki kondisi tanahnya yang tidak ideal bagi tanaman. Pada lahan basah, tanah memiliki unsur yang tidak proporsional. Tanah yang ideal memiliki bagian padat, bagian cair, dan bagian udara yang berimbang. Pada lahan basah hanya tinggal bagian padat dan bagian cairnya saja, karena bagian udaranya telah diisi oleh air. Pori makro hilang sekaligus mengusir udara (O2) yang diperlukan oleh tanaman untuk respirasi, dari dalam tanah.

Ironisnya, air yang berlebihan yang terdapat dalam tanah justru tidak dapat dipakai oleh tanaman karena akar tidak mampu menyerap air secara aktif. Tanpa O2 (hipoksia), sel-sel akar tidak dapat bertahan hidup lama, hingga akhirnya mati. Sel-sel akar yang sekarat atau bahkan mati itu, terutama sel-sel xylemnya tidak dapat melakukan penyerapan air secara aktif sehingga air tidak terserap dan terangkut ke bagian atas tanaman. Menurut Parent et al. (2008), kondisi terbatasnya O2 secara dramatis akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan keberadaan tanaman.

Bagaimana dengan unsur hara di lahan basah. Keberadaan air yang sangat banyak di dalam tanah memiliki pengaruh buruk terhadap kondisi unsur hara, baik bentuknya maupun ketersediaannya secara fisik. Beberapa unsur hara mengalami perubahan bentuk, seperti unsur nitrogen, berganti bentuk dari NO3+ menjadi NH4. Perubahan bentuk ini menyebabkan tanaman umumnya tidak dapat menyerapnya, kecuali hanya beberapa tanaman saja yang bisa, seperti padi. Demikian pula secara fisik, air yang terlalu banyak di permukaan tanah dapat menyebabkan terjadinya pencucian unsur hara dari top soil. Pencucian ini menyebabkan berkurangnya konsentrasi unsur hara sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan produksi tanaman yang tumbuh di atasnya.

Untuk lebih rinci mengenai keadaan unsur hara pada lahan basah, ada baiknya kita melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Edem dan Ndaeyo pada tahun 2007 di Negeria. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa lahan basah memiliki banyak masalah. Berikut adalah masalah-masalahnya.

Pertama adalah pH. Pada saat basah, pH tanahnya netral, yaitu 6,4, tetapi menjadi ektrim sangat asam, yaitu 3,5 ketika kering. Berikutnya adalah N total juga rendah. Kandungan kation dasar seperti Ca, Mg, K, dan Na juga rendah. Sebaliknya, kation asam seperti Al dan H tinggi. Rasio Ca:Mg berada di bawah ambang batas optimum di mana rasio optimum itu 3:1 ampai 4:1 untuk kebanyakan tanaman. Rasio Mg:K di atas 1,2 di mana di bawahnya bisa menyebabkan hasil tanaman seperti jagung dan kedelai bisa berkurang. Kapasitas tukar kation juga rendah, yaitu di bawah 20cmol/kg. Persen kejenuhan basa juga rendah, yaitu < 38, yang menunjukkan bahwa tanah kurang subur. Jumlah Al-dd dan Al jenuh juga tinggi, di atas 60%. Nilai daya hantar listrik di atas nilai kritis 2 dsm-1, sementara persen Na-dd kurang dari 0,15. P tersedia juga rendah, yakni < 10 ppm dan rasio Fe2O3/liat bebas < 0,15.

Setelah melihat permasalahan lahan basah secara umum, maka beberapa skenario dapat dibuat. Skenario ini dapat dijalan secara sendiri atau bersama-sama. Skenario yang pertama adalah mengurangi air dan menambah tanah.

Karena masalah pada lahan basah adalah adanya air yang berlebihan, maka solusinya tentulah menguranginya dari lahan tersebut. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, di antaranya melakukan penimbunan seluruh lahan dengan tanah agar permukaan tanah lebih tinggi dari permukaan air. Cara ini praktis dan cepat karena begitu lahan selesai ditimbun dengan tanah, maka lahan tersebut segera dapat ditanami dengan tanaman, sebagaimana layaknya lahan kering. Namun, cara ini memiliki dampak buruk terhadap ekosistem lahan basah tersebut. Menurut Lee dan Lee (2007) penimbunan lahan basah dapat mengganggu keseimbangan air dan berikutnya dapat mengganggu reproduksi ikan dan organisme perairan lainnya yang hidup di daerah itu.

Cara lain yang lebih moderat adalah menambah permukaan tanah di sebagian lahan saja. Tanah ditimbun di bagian tertentu, yaitu hanya pada tempat tegaknya tanaman saja. Dengan demikian, bagian lahan yang lain tetap basah sebagaimana biasanya. Cara ini cocok untuk tanaman keras yang jarak tanamnya relatif renggang, tetapi kurang cocok untuk tanaman semusim yang jarak tanamnya sempit. Namun dari sudut pandang kelestarian lingkungan, cara ini lebih aman dibanding cara menimbun areal seluruhnya karena cara ini relatif tidak terlalu mengganggu keseimbangan air sebagaimana cara timbun seluruh areal. Ekosistem perairannya relatif tetap terjaga.

Cara lain yang sering dilakukan adalah membuat saluran drainase untuk membuang atau mengalirkan air yang berlebihan ke daerah lain. Dengan drainase yang baik, lahan basah dapat diubah menjadi lahan kering. Namun demikian, hilangnya air dari lahan tidak serta merta menghilangkan masalah pada lahan basah. Tanah yang tiba-tiba kering pada lahan basah mempunyai pH tanah yang sangat ekstrim rendah. Keasaman yang ekstrim ini memiliki banyak konsekuensi kimia yang buruk terhadap ketersediaan unsur hara. Menurut McKenzie (2003), pH rendah apalagi ekstrim rendah akan menurunkan ketersediaan unsur hara makro P dan K serta unsur hara mikro seperti Mn, Fe, Cu, Zn, dan B. Oleh karena itu, pembuatan saluran drainase harus juga diiringi dengan pembuatan saluran irigasi agar tanah yang kering dapat segera diberi air.

Pendekatan lain adalah memilih tanaman yang cocok di tanam di lahan basah. Kendati hanya sedikit jumlahnya, tetapi ada tanaman tertentu yang dapat bertumbuh dan berproduksi dengan baik di lahan basah. Misalnya padi. Padi sebenarnya bukan tanaman air tetapi padi dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di lahan yang tergenang air. Banyak varietas padi telah dikembangkan dengan spesifikasi yang beragam pula. Ada yang cocok untuk lahan kering, yang sering disebut varietas padi gogo, ada yang cocok untuk lahan basah yang permanen tergenang air, dan ada pula yang cocok untuk lahan kering-basah. Pilihan lain adalah menanam tanaman lain selain padi, seperti tanaman hutan untuk kayu, buah-buahan, dan hias dan obat-obatan. Teratai misalnya merupakan tanaman lahan basah yang potensial karena menurut Smallcrab (2012) seluruh bagian tanaman teratai dapat digunakan sebagai obat. Pilihan lain, Mdc (2012) menyebut beberapa jenis tumbuhan yang dapat hidup dengan baik di lahan basah seperti bald cypress, tupelo, sweet-gum, oak, pecan, dan nuts.

Alternatif lain yang sangat menjanjikan adalah melakukan budi daya tumpang sari, yaitu melakukan beragam aktivitas pertanian (multikultur) pada waktu dan tempat yang sama sekaligus. Misalnya mina padi, sambil menanam padi, petani juga menabur benih ikan di lahan basah tersebut. Menurut Warsawa (2012) sistem tanam tumpang sari mempunyai banyak keuntungan yang tidak dimiliki pada pola tanam monokultur. Beberapa keuntungan pada pola tumpang sari antara lain: 1) akan terjadi peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan maupun penyerapan sinar matahari), 2) populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki, 3) dalam satu areal diperoleh produksi lebih dari satu komoditas, 4) tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakala satu jenis tanaman yang diusahakan gagal dan 5) kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menciptakan beberapa jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas

biologis sehingga dapat menekan serangan hama dan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dalam hal ini kesuburan tanah.

Dari uraian di atas, maka produksi lahan basah dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan, antara lain dengan reklamasi fisik berupa penimbunan lahan dengan tanah mineral, seluruhnya atau sebagian. Opsi lain adalah membuat drainase atau membuang air dari lahan basah dengan catatan harus diikuti oleh perlakuan lain seperti mempertahankan bahan organik yang cukup, memberikan kapur, menambah pupuk organik dan anorganik. Ketiga, pilihan berikutnya adalah membudidayakan tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan basah, seperti padi dan teratai. Terakhir tapi bukan terpaksa adalah melakukan budi daya tumpang sari, seperti mina padi, yaitu menanam padi sembari memelihara ikan.

DAFTAR PUSTAKA

Edem, S.O. and N. U. Ndaeyo. 2007. Fertility status and management implications of wetland. Soils for sustainable crop production in Akwa Ibom State, Nigeria. Springer Science+Business Media B.V. pp. 393 – 406.

Lee, G. F. and A. J. Lee. 2007. Potential Impacts of Landfills. www.gfredlee.com. Diakses 20-9-2012.

McKenzie, R. H. 2003. Soil pH and plant nutrients. Alberta. Agric.gov.ab.ca/. Diakses 20-9-2012.

Mdc. 2012. Wetland values. htpp://mdc.mo.gov/landwate. Diakses 20-9-2012.

Merriam-Webster. 2012. Dictinary. Merriam-Webster, Inc.

Parant, C., N. Capelli, A. Berger, M. Crevecoeur, J. F. Dat. 2008. An overview of plant response to soil waterlogging. Plant Stres 2(1): 20 – 27.

Ramsar. 2012. Laporan kegiatan, peringatan hari lahan basah sedunia 2 Februari 2012. www.ramsar.org/…/Indonesia_report. Diakses 24-9-20012.

Smallcrab. 2012. Khasiat bunga teratai. http://www.smallcrab.com/kesehatan/163-khasiat-bunga-teratai.

Warsawa. 2012. Introduksi teknologi tumpangsari jagung dan kacang tanah. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/234/pdf/Introduksi%20Teknologi%20Tumpangsari%20Jagung%20dan%20Kacang%20Tanah.pdf. Diakses 21-9-2012

FILSAFAT PADI

Muhammad Hatta

Orang bijak sering berujar, tirulah ilmu padi. Kian berisi, kian merunduk. Maksud dari pesan bijak itu adalah jika kita memiliki ilmu janganlah sombong, tetapi sebaliknya hendaklah semakin bijaksana. Semakin banyak pengetahuan dan ilmu yang kita miliki hendaknya semakin arif dan bijak pula kita. Demikianlah pesan tadi yang mengandung makna filsafat yang mendalam.

Mengapa pesan tersebut dikatakan mengandung nilai filsafat? Kata filsafat sendiri berarti cinta terhadap kebijaksanaan ataupun cinta akan kearifan. Menurut Bakhtiar (2011) kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophy, yang terdiri dari dua kata: philos dan sophos. Philos berarti cinta dan sophos berarti hikmah atau bijaksana. Dengan demikian, secara harfiah filsafat bermakna cinta bijaksana. Namun, secara lebih luas, filsafat didefinisikan sebagai berpikir secara menyeluruh, mendalam, logis, sistematis, tapi juga spekulatif mengenai hakikat segala sesuatu untuk mencari kebenaran.

Bila diresapi dengan mendalam, maka betapa filsafat mengandung nilai yang sangat luhur dan sangat dibutuhkan di dalam kehidupan manusia. Sebenarnya filsafat sudah banyak berperan dalam kehidupan manusia sejak berabad-abad lalu. Dulu orang percaya pada dewa-dewa penyebab bencana, seperti dewa banjir, dewa gempa, dan dewa-dewa lainnya yang sangat menakutkan. Setelah belajar filsafat kemudian orang tidak takut lagi pada dewa-dewa tersebut, karena sesungguhnya fenomena alam tidak terkait sama sekali dengan dewa. Namun, kini filsafat dirasakan lebih dibutuhkan lagi daripada di masa lalu. Saat ini kebutuhan manusia lebih banyak dan lebih beragam, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, manusia memerlukan lebih banyak ilmu dan pengetahuan dibanding dahulu kala.

Terkait dengan perannya dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan. Suriasumantri (1999) menyatakan bahwa filsafat adalah pionir dan peneretas pengetahuan. Meminjam pendapat Will Durant, beliau menyatakan bahwa filsafat dapat diibaratkan sebagai pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri ini adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan ilmuwan. Sebab setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa filsafat juga berperan sebagai pengawal ilmu dan pengetahuan.

Tanpa dikawal filsafat, selain berguna, ilmu dapat juga menyebabkan bencana dan membawa malapetaka bagi manusia. Banyak contoh sudah terjadi. Bom atom yang dikembangkan atas dasar ilmu telah menjadi monster pembunuh pada perang dunia II. Reaktor nuklir juga tidak sedikit menelan korban. Akhir-akhir ini ada upaya untuk mengkloning manusia, yang bila tidak dikawal oleh pikiran jernih dari kearifan filsafat juga akan membawa bencana bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Bakhtiar (2011) menyatakan bahwa ilmu tanpa pengawalan filsafat dapat membawa ilmu tersebut kepada tujuan yang tidak bermanfaat bagi manusia, bahkan bencana.

Bagaimana filsafat mengawal ilmu? tentunya dengan filsafat ilmu. Menurut Bakhtiar (2011) filsafat ilmu adalah kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu. Dasar-dasar ilmu yang dimaksud terdiri dari 1) objek yang ditelaah, 2) metode mendapatkannya, dan 3 tujuannya. Ketiga objek ilmu tersebut dikaji dengan proses berpikir yang mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran. Ilmu dan bagian-bagiannya barulah dapat dikatakan benar bila memenuhi tolok ukur kebenaran. Dalam filsafat, ada tiga tolok ukur kebenaran yang bisa dipakai. Pertama, sesuatu itu dapat dikatakan benar bila subjek dan objeknya berkorespondensi (selaras). Kedua, sesuatu itu benar, bila sesuatu itu konsisten (sesuai) dengan yang sebelumnya yang dianggap benar. Ketiga, sesuatu itu benar, bila sesuatu itu bermanfaat bagi manusia.

Secara filsafat, tiga tolok ukur kebenaran ini secara bersama atau sendiri-sendiri dapat digunakan sebagai acuan untuk mencari kebenaran. Tulisan ini mencoba melihat kebenaran pada praktek agronomi penanaman padi oleh para petani. Kebenaran, sebagaimana dijelaskan di atas, bisa dilihat dari tolok ukur kebenaran secara langsung, tetapi juga dapat didekati secara tak langsung dari posisi yang berlawanan, yaitu ketidakbenaran. Dengan kata lain, kita dapat mencari kebenaran dengan melihat sesuatu dari sisi ketidakbenarannya. Oleh karena itu, selanjutnya, ketidakbenaran anggapan dan prilaku akan sering dipakai dalam sajian tentang filsafat bertanam padi nantinya. Pertama sekali, marilah kita lihat terlebih dahulu apa itu padi.

Padi adalah tanaman yang termasuk dalam jenis rumput-rumputan. Akarnya termasuk akar serabut. Batangnya berbuku-buku dan di dalamnya kosong seperti pipet yang digunakan untuk pertukaran gas. Daunnya seperti pita. Bunga jantan dan betina ada dalam satu bunga yang terletak pada malai, yang kemudian menjadi gabah. Ada banyak varietas padi yang ditanam oleh para petani. Ada banyak ragam teknik agronomi yang dipakai serta ada banyak juga ragam pandangan dan anggapan menyangkut dengan padi. Sesuai judul di atas mari kita lihat tanaman ini dari sisi pandang filsafat bertanam padi.

Filsafat bertanam padi yang dimaksud di sini adalah filsafat yang berkenaan dengan cara bercocok tanam padi. Karena filsafat mengandung arti bijak, maka secara sederhana, filsafat bertanam padi adalah penerapan cara bertanam padi secara bijak atau arif; Atau dengan sedikit pengertian filsafat yang lebih luas, adalah bertaman padi secara benar dan bermanfaat. Pertanyaannya apakah sekarang ini para petani kita telah bijak dalam bertanam padinya. Jawabannya bisa beragam, bisa bijak, tidak bijak, belum bijak, atau sudah tidak bijak lagi.

Kalau jawabannya yang terakhir kita ambil maka itu bermakna dulu pernah bijak, tetapi sekarang tidak bijak lagi. Kalau jawabannya belum bijak, maka itu artinya mereka belum tahu bagaimana yang bijak sehingga ada harapan mereka akan jadi bijak manakala mereka sudah diberi tahu bagaimana yang bijak. Yang manapun jawabannya, kita perlu memberi tahu kepada para petani bagaimana seharusnya bertanam padi yang bijak, yang secara filosofi adalah juga benar.

Sesungguhnya petani padi memiliki banyak sekali pengetahuan tentang tanaman padi dan sawahnya. Pengetahuan tersebut diperolehnya dari berbagai sumber. Ada dari penyuluh, orang tua atau kerabatnya, baik secara turun temurun ataupun in situ di tempat dia bertanam. Menurut Suriasumantri (1999) dan Bakhtiar (2011) sumber pengetahuan dapat berasal dari rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu. Sebagian pengetahuan yang mereka miliki adalah benar dan berguna bagi pertumbuhan dan produksi pertanamannya, namun sering juga tidak rasional, bahkan ada juga yang keliru sehingga merugikan pertanaman dan dirinya sendiri.

Penulis mencoba mengangkat beberapa anggapan dan prilaku petani padi yang keliru. Secara filsafat, praktek ini dapat dikatakan tidak benar dan tidak memberikan manfaat apa-apa bagi petani, bahkan cenderung merugikan. Ada selusinan atau bahkan lebih kekeliruan yang terus dipraktekkan para petani di tanah sawahnya.

Kesalahan pertama adalah anggapan bahwa varietas padi baru tidak bagus dan tidak cocok. Akibatnya, para petani enggan menanam varietas padi baru. Anggapan ini penulis dengar sendiri ketika bertugas di Nias, tahun 2006 setelah kejadian gempa dan tsunami 2004. Ketika itu, penulis bersama petugas lainnya, berusaha memperkenalkan varietas Ciherang, karena dari kajian ditemukan bahwa varietas ini sangat menjanjikan. Kemudian memang terbukti bahwa varietas ini dominan ditanam di Indonesia dan memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas sebelumnya (BBPTP, 2005).

Bertolak belakang dengan pendapat di atas, banyak juga petani kita berpandangan bahwa varietas lama (varietas asli daerah) tidak perlu dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya. Pandangan ini memang jarang disampaikan dalam bentuk lisan, tetapi indikasinya bisa ditangkap dari kenyataan di lapangan. Sekarang ini, hampir tidak ada lagi petani padi yang menanam varietas asli daerah, kecuali sedikit sekali. Di tempat kelahiran penulis, Kuala Simpang, Aceh Tamiang, varietas asli sudah sangat sulit ditemukan, kalau tidak mau mengatakan sudah punah. Masih teringat, dulu ada yang namanya varietas Si Raup, Si Kuning, Si Kruing, dan Si Pahit. Lalu, apa gunanya varietas ini dilestarikan? Jawabannya adalah sebagai sumber plasma nutfah atau sebagai sumber keragaman genetik untuk keperluan pemuliaan tanaman, khususnya padi. Sebagai contoh pada pemuliaan padi tahan kekeringan, Blum (2011) menyarankan bahwa di antara sumber plasma nutfah yang tersedia, agar plasma nutfah dari tanaman budidaya dijadikan pilihan pertama sebagai sumber genetik. Karena menurut beliau, di dalam plasma nutfah tanaman budidaya, terkandung beragam gen laten yang berguna untuk program pemuliaan tanaman, termasuk tahan kekeringan. Dari segi pemuliaan, penggunaan sumber gen yang berkerabat dekat lebih memungkinkan untuk berhasil dibanding bila menggunakan sumber yang sangat asing.

Dari segi agronomi, pandangan keliru lainnya adalah banyak tanaman, banyak hasil. Ini mungkin mirip dengan pandang “banyak anak, banyak rezeki”. Implikasi buruk dari pandangan ini adalah petani menanam padi dengan jarak tanam yang sangat rapat, ditambah lagi sangat banyak tanaman dalam satu lubang tanam. Sebagai ilustrasi, ada petani yang menanam padi dengan jarak 10 cm x 10 cm dan dalam satu lubang tanam berisi 6 tanaman. Bila dihitung, maka satu hektar sawah berisi 6 juta batang padi, yang juga berasal dari 6 juta butir benih padi. Jumlah ini sebanding dengan 150 kg benih padi dengan asumsi 1000 butir padi sama dengan 25 g. Padahal, secara agronomi, padi dapat ditanam dengan jarak 25 cm x 25 cm (Thakur, 2010) atau serapat-rapatnya 20 cm x 20 cm dan dalam satu lubang cukup satu tanaman saja, sebagaimana pada metode SRI (Thakur et al. 2010). Dengan cara ini, maka satu hektar hanya berisi 160 ribu atau 250 ribu batang saja, yang bila dikonversi ke biji menjadi setara 4,0 kg atau 6,25 kg benih saja. Coba lihat betapa tidak efisiennya petani kita yang menabur benih padi sebanyak 150 kg dari yang seharusnya cukup 4 – 6,25 kg saja untuk satu hektar sawah. Ini baru dilihat dari kebutuhan benih, belum lagi dari segi tenaga kerja dan waktu yang terbuang percuma. Ini sungguh sangat boros dan tidak ekonomis sama sekali.

Anggapan lain yang sama buruknya adalah semakin banyak air yang diberikan, semakin banyak hasil padi. Akibatnya, pemakaian air sangat boros per satuan luas sawah, berikutnya jumlah sawah yang dapat diairi menjadi lebih sempit dari yang seharusnya. Padahal, sebenarnya padi bukanlah murni tanaman air, karena kenyataannya padi memang dapat juga hidup dan berproduksi tinggi pada lahan darat. Dengan demikian, air bukanlah faktor mutlak melainkan sebagai faktor pendukung. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa kesehatan tanah sawah tempat padi di tanam lebih baik bila tidak digenangi terus menerus (Hanafiah et al., 2009). Dengan demikian, sebenarnya padi tidak memerlukan terlalu banyak air seperti yang disangkakan dan justru akan lebih produktif bila air diberikan secara macak dan terputus-putus. Menurut Prisilla et al. (2012), pemberian air irigasi dengan debit yang berubah-ubah sangat penting bukan saja untuk perbaikan sistem irigasi, tetapi juga untuk melindungi sumber air bagi masa depan.

Pemikiran buruk lainnya adalah banyak pupuk, banyak hasil. Pemeo ini sebenarnya tidak produktif dan bahkan sangat merusak lingkungan. Petani kita kadang-kadang sudah keterlaluan dalam menggunakan pupuk, terutama pupuk anorganik. Penulis sendiri pernah menyaksikan sendiri bagaimana mereka memberikan pupuk pada lahan sawahnya, karena tempat tinggal penulis berkebetulan dekat dengan persawahan. Barangkali petani tidak pernah menghitung pemakaian pupuknya, tetapi bila kita hitung, bisa jadi pupuk yang digunakan bisa mencapai dua kali lipat dari yang dianjurkan. Bisa jadi pula dosis anjuran pun sudah terlalu banyak, karena belum ada kajian yang mendalam sebenarnya berapa dosis yang aman untuk produktivitas padi sekaligus kesehatan tanah sawah untuk mendukung perpadian dan persawahan yang berkelanjutan. Menurut Cummings dan Orr (2010) kendatipun aplikasi pupuk N anorganik telah memberikan keuntungan yang nyata pada produksi pangan dan ketahanan pangan dunia dalam jangka pendek, namun ada keprihatinan yang meluas terhadap keberlanjutan penggunaan teknologi ini untuk jangka panjang agar dapat terus memberi makan seluruh populasi dunia yang terus meningkat. Penggunaan pupuk N anorganik secara terus menerus akan menyebabkan perusakan tanah pertanian, antara lain sebagai akibat dari hilangnya bahan organik, pemadatan tanah, peningkatan salinitas, dan pencucian nitrat anorganik.

Bahan organik tidak berfaedah adalah kesalahan lain. Sumber bahan organik tidak dimanfaatkan. Jerami padi tidak dikembalikan ke sawah, melainkan diangkut bersama malai yang dipanen, bahkan sebagiannya lagi dibakar. Barangkali ada kemalasan ikut terlibat di sini. Pernah suatu ketika, penulis berdialog dengan seorang petani padi tentang pemanfaatan jerami sebagai sumber pupuk organik untuk pertanaman padinya. Pertanyaan penulis adalah mengapa petani selalu membakar jerami setelah panen berakhir. Jawabannya cukup sederhana, karena jerami-jerami itu mengganggu jalannya traktor mesin pengolah lahan nantinya. Sebagai catatan, petani memang selalu menumpuk jerami padi di pematang atau di tengah sawah. Tumpukan itulah yang dimaksud mengganggu tadi dan dengan membakarnya tumpukan tersebut langsung hilang dalam semalam. Padahal dengan sedikit rajin, penyerakan jerami ke permukaan lahan sawah dapat juga segera menghilangkan tumpukan yang mengganggu tadi, tanpa harus membakarnya. Membakar jerami sama artinya menghilangkan sumber bahan organik dan yang tersisa hanya abu dengan sedikit bahan mineral. Menyerakkan jerami sama artinya dengan memberikan sumber bahan organik ke dalam tanah, yang sangat berarti bagi kesuburan dan kesehatan tanah, berikut tanaman yang tumbuh di atasnya. Lalu, apa gunanya bahan organik pada tanah?. Funderbug (2001) menyatakan bahwa bahan organik berguna sebagai suplai unsur hara, kapasitas menahan air, agregasi struktrur tanah, dan pencegah erosi. Lebih jauh lagi, sebenarnya bahan organik dalam tanah bisa berfungsi seperti magis, mediator, atau penyangga dari kondisi ekstrem di dalam tanah. Menurut CSIRO (2011) bahan organik merupakan indikator kunci akan kesehatan tanah dan memainkan peran penting pada sejumlah fungsi, seperti biologi, kimia, dan fisik.

Lain jerami, lain lagi pupuk kandang. Bagi sebagian petani padi, pupuk kandang menjadi pantang diberikan pada sawah. Ada anggapan, pupuk kandang yang berupa kotoran ternak merupakan sumber penyakit bagi tanaman padinya. Kesalahan persepsi ini bisa jadi disebabkan oleh salah tindak pada pupuk ini. Waktu pemberian yang tidak tepat mungkin saja penyebab utamanya atau ada pengalaman buruk lain bersama dengan penggunaan pupuk ini. Akibatnya jarang sekali petani padi memupuk tanamannya dengan pupuk kandang. Sebenarnya, pupuk kandang sangat baik diberikan kepada tanaman padi dan kebaikannya sama seperti pada tanaman lainnya. Pupuk kandang banyak mengandung bahan organik, mikroorganisme, dan juga bahan anorganik. Menurut Rusmarkam dan Yowono (2002) pupuk kandang sebagai salah satu sumber bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya menahan air, meningkatkan kapasitas tukar kation, memperbaiki kehidupan biologi tanah, dan juga meningkatkan daya sangga tanah. Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa pupuk kandang juga memiliki sifat yang kurang baik, antara lain memiliki rasio C/N tinggi dalam keadaan basah/mentah. Oleh karenanya, disarankan tidak memberi pupuk kandang dalam keadaan masih mentah pada lahan sawah. Jika pun diberikan mentah hendaknya jauh hari sebelum penanam padi dilakukan.

Yang tidak kalah kelirunya juga ada pada pengendalian hama dan penyakit padi. Menyemprotkan pestisida, terutama insektisida seperti sudah merupakan keharusan pada pertanaman padinya. Ada tidaknya hama dan penyakit di pertanaman padi di sawah tidak menjadi soal yang penting. Akibatnya, residu pestisida di sawah terus terakumulasi. Tidak hanya mencemari tanah sawah saja, air dan sumber air pun ikut tercemar. Banyak mikroorganisme dan makroorganisme yang berguna ikut mati terbunuh oleh pestisida, sehingga kesehatan tanah sawah terus menurun dari tahun ke tahun. Menurut Supardi (2003) pestisida seperti DDT, aldrin, endrin, dan fosfor organik bila mencemari tanah pertanian akan merugikan sebab senyawa tersebut dapat membunuh mikroorganisme yang sangat penting bagi tanah untuk proses dekomposisi dan sintesis senyawa organik dan anorganik. Bila penggunaannya tidak terkontrol, insektisida bisa juga menimbulkan pencemaran lingkungan, seperti air minum, merugikan kesehatan, dan juga mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap senyawa tersebut. Selain itu, insektisida ada juga yang bersifat karsinogenik, yaitu senyawa yang bisa menimbulkan terjadinya kanker dan tumor ganas.

Sebenarnya, daftar keliru dari prilaku petani masih bisa ditambah lagi. Namun, kita cukupkan dulu di sini. Barangkali lebih baik bagi kita untuk mencoba mengambil pelajaran daripadanya. Kita berharap apa yang penulis paparkan di atas hanyalah sekadar akibat ketidaktahuan atau kekurangpahaman para petani saja, bukan merupakan bagian dari budaya bangsa kita. Mengapa demikian, karena menurut Ashley Montagu dalam Suriasumantri (1999), kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Bisa dibayangkan betapa buruknya rupa masyarakat petani padi kita, bila kebutuhan dasarnya banyak yang keliru.

 

DAFRTAR PUSTAKA

Bakhtiar, A. 2011. Filsafat Ilmu. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. 266 hlm.

BBPTP. 2005. Ciherang, Varietas yang Mendominasi Pertanaman Padi Saat ini. Informasi Ringkas. Bank Pengetahuan Padi Indonesia. pustaka.litbang. deptan.go.id/bppi/lengkap/bpp08044.pdf

Blum, A. 2011. Genetic Resources for Drought Resistance Plant Breeding for Water-Limited Environments, DOI 10.1007/978-1-4419-7491-4_5, © Springer Science+Business Media, LLC 2011

CSIRO. 2011. Why soil organic matter matters. www.csiro. Au/…/soil-organic-matter.aspx. Diakses 7 November 2012.

Cummings, S. P. and C. Orr. 2010. The Role of Plant Growth Promoting Rhizobacteria in Sustainable and Low-Input Graminaceous Crop Production. In Plant Growth and Health Promoting Bacteria. D.K. Maheshwari (ed.). Microbiology Monographs 18, DOI 10.1007/978-3-642-13612-2_13, Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Funderberg, E. 2001. What does organic matter do in soil? The Samuel Roberts Noble Foundation. www.noble.org/…/soils/organicmatter/. Diakses 7 November 2012.

Hanafiah, A. S., T. Sabrina, dan H. Guchi. 2009. Biologi dan Ekologi Tanah. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Uviversitas Sumatera Utara. 409 hlm.

Prisilla, L., P. S. V. Rooban, dan L. Arockiam. 2012. A Novel Method for Water irrigation System for paddy fields using ANN. International Journal of Computer Science and Network (IJCSN) Volume 1. http://www.ijcsn.org.

Rosmarkam, A. dan N.W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius. 224 hlm.

Supardi, I. 2003. Lingkungan Hidup Kelestariannya. PT. Alumni, Bandung. 280 hlm.

Suriasumantri, J. S. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 384 hlm.

Thakur, A. K., S. Rath, S. Roychowdhury and N. Uphoff. 2010. Comparative Performance of Rice with System of Rice Intensification (SRI) and Conventional Management using Different Plant Spacings. J. Agronomy & Crop Science. 196: 146–159

Thakur, A.K. 2010. Critiquing SRI criticism: beyond skepticism with empiricism. Current Science, Vol. 98, No. 10. 1294 – 1299.

METABOLIT SEKUNDER POLIAMINA PADA TUMBUHAN

Muhammad Hatta

 

Pendahuluan

Tumbuhan secara alamiah menghasilkan beragam jenis senyawa. Secara umum, senyawa-senyawa tersebut dapat dibagi tiga, yaitu metabolit primer, polimer, dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah senyawa-senyawa yang terdapat pada semua sel dan memegang peranan sentral dalam metabolisme dan reproduksi sel-sel tersebut. Contoh metabolit primer antara lain asam nukleat, asam amino, dan gula. Polimer adalah senyawa penyusun sel yang terdiri dari senyawa yang memiliki berat molekul yang tinggi, seperti selulosa, lignin, dan protein. Metabolit sekunder adalah senyawa yang secara khusus terdapat pada jenis atau spesies tertentu saja (Hanson, 2011).

Berbeda dengan senyawa metabolit primer yang pada umumnya memberi pengaruh biologi terhadap sel atau organisme tanaman itu sendiri, metabolit sekunder (MS) memberikan pengaruh biologi terhadap sel atau organisme lain. Menurut Wink (2010) metabolit sekunder bukanlah produk buangan yang tak berguna, tetapi perangkat yang penting untuk melawan herbivora dan mikroba. Beberapa metabolit sekunder berfungsi sebagai molekul isyarat untuk menarik arthropoda penyerbuk, hewan penyebar benih, dan sebagai senyawa isyarat dalam hubungan tanaman-tanaman, tanaman-binatang, dan tanaman-mikrobia.

Senyawa metabolit sekunder banyak sekali jumlahnya. Menurut Springob dan Kutchan (2009), ada lebih dari 200000 struktur produk alamiah atau produk metabolit sekunder. Untuk memudahkan, perlu dibuat klasifikasi.

Ada beberapa cara klasifikasi bisa dibuat, seperti berdasarkan sifat struktur, asal-usul biosintesis, atau lainnya. Berdasarkan sifat strukturnya, Hanson (2011 membagi MS ke dalam 6 golongan, yaitu 1) poliketida dan asam lemak, 2) terpenoid dan steroid, 3) fenilpropanoid, 4) alkaloid, 5) asam amino khusus dan peptida, dan 6) karbohidrat khusus.

Berdasarkan asal-usul biosintesisnya, Springob dan Kutchan (2009) membagi MS menjadi empat kelompok, yaitu 1) alkaloid, 2) fenilpropanoid, 3) poliketida, dan 4) terpenoid. Berdasarkan kandungan N, Wink (2010) membagi MS ke dalam dua kelompok besar, yaitu1) MS yang mengandung N dan 2) MS yang tidak mengandung N. Kelompok pertama dibagi lagi menjadi 7 anak kelompok, dan kelompok kedua dibagi lagi menjadi 10 anak kelompok. Pembagian dan jumlah MS dapat dilihat pada Tabel 1.

Table 1. Kelompok metabolit sekunder dan jumlahnya pada tanaman tingkat tinggi

Jenis metabolit sekunder

Jumlaha

Mengandung Nitrogen

Alkaloid

21 000

Asam amino bukan protein

700

Amina

100

Glikosida sianogenik

60

Glucosinolat

100

Alkamida

150

Lektin, peptida, polipeptida

2000

Tanpa Nitrogen

Monoterpen (C10)b

2500

Sesquiterpen C15)b

5000

Diterpen (C20)b

2500

Triterpen, steroid, saponin (C30, C27)b

5000

Tetraterpen (C40)b

500

Flavonoid, tannin

5000

Fenilpropanoid, lignin, coumarin, lignan

2000

Poliacetilen, asam lemak, lilin

1500

Poliketida

750

Karbohidrat, asam organik

200

aPerkiraan jumlah dari struktur yang diketahui.

bTotal jumlah terpenoid melebihi 22000 saat ini.

Sumber: Wink (2010)

Biosintesis Metabolit sekunder

Ada 2 lintasan biosintesis MS. Pertama adalah lintasan metabolisme dasar seperti glikolisis dan siklus Krebs. Kedua adalah lintasan shikimate. Lintasan metabolisme dasar dan shikimate (Wink, 2010) masing-masing dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

clip_image004

Gambar 1. Lintasan metabolisme dasar dari sintesis metabolit sekunder (Wink, 2010)

 

clip_image006

Gambar 2. Lintasan shikimate sintesis metabolit sekunder (Wink, 2010)

Poliamina

Poliamina adalah senyawa polikation berberat molekul rendah yang ditemukan dalam semua makhluk hidup (Kaur-Sawhney, 2003; Kusano, 2008), seperti bakteri, jamur, hewan, dan tanaman tingkat tinggi (Baron dan Stasolla (2008). Dilihat dari strukturnya, poliamina termasuk dalam golongan amina. Namun, secara fisiologis, poliamina bisa dimasukkan ke dalam golongan alkaloid (Harbone, 1984; Robert, 2010).

Secara kimiawi, poliamina merupakan senyawa organik yang mempunyai dua atau lebih gugus amino utama –NH2, dapat berupa senyawa sintetik dan juga alami. Senyawa poliamina sintetik termasuk etilen diamine H2N–CH2–CH2–NH2, 1,3-diaminopropane H2N–(CH2)3–NH2, dan hexamethylenediamine H2N–(CH2)6–NH2. Senyawa poliamina alami meliputi putrescine H2N–(CH2)4–NH2, cadaverine H2N–(CH2)5–NH2, spermidine H2N–(CH2)4–NH–(CH2)3–NH2, and spermine H2N–(CH2)3–NH–(CH2)4–NH–(CH2)3–NH2n (Wikipedia, 2012). Struktur molekul poliamina alami dapat dilihat pada Gambar 3.

clip_image008

Gambar 3. Molekul Poliamina (sumber: Oryza, 2012)

Pada sel tumbuhan poliamina terdapat terutama dalam bentuk diamine putrescine (Put), triamine spermidine (Spd), dan tetramine spermine (Spm)( Kaur-Sawhney (2003; Vadim, 2009). Poliamina ini ada dalam bentuk bebas atau sebagai konjugat yang terikat pada asam fenolik dan pada senyawa berberat molekul rendah lain atau pada makromolekul seperti protein dan asam nukleat (Kaur-Sawhney, 2003)

Groppa dan Benavides (2007) menyatakan bahwa Put, SPd, dan Spm merupakan Poliamina utama yang dijumpai pada semua sel makhluk hidup. Senyawa ini merupakan senyawa nitrogen alifatik yang bermuatan positif pada pH fisiologis. Sifatnya ini memungkinkan poliamina berinteraksi dengan makromolekul yang bermuatan negatif, seperti DNA dan RNA, protein dan fosfolipid.

Menurut Kusano (2008) awal penemuan poliamina adalah sekitar tahun 1678 ketika ditemukan kristal tiga sisi pada semen manusia. Karena banyak terdapat dalam sperma, maka senyawa ini dinamai dengan spermine. Spermidine pertama ditemukan pada pankreas. Spermine dan spermidine bertanggung jawab pada bau khas dari semen. Dua senyawa lainnya putrescine dan cadaverine ditemukan pada bakteri dekomposisi.

Biosintesis Poliamina

Pada tanaman, poliamina terdapat dalam sitoplasma, vakuola, mitokondria dan kloroplas. Sintesis poliamina dimulai dari dua molekul prekursor asam amino, yaitu L-arginine dan L-methionine (Kusano, 2008).

Ada dua lintasan alternatif. Lintasan pertama, dimulai dari arginine. Kemudian, diamine putrescine disintesis melalui ornithine oleh arginase dan ornithine dekarboksilase. Putrescine dapat juga disintesis melalui agmatine oleh tiga reaksi berantai yang dikatalisir masing-masing oleh enzim arginine dekarboksilase, agmatine iminohydrolase, dan N-carbamoylputrecine amidohydrolase. Putrescine dikonversi menjadi spermidine oleh aksi spermidine sintase. Lintasa kedua, dimulai dari methionin kemudian diubah menjadi S-adenosylmethionine dua reaksi yang berurutan oleh methionine adenosyltransferase dan S-adenosylmethionine dekarboksilase (Kusano, 2008)

Secara ringkas, poliamina disintesis dari arginine dan ornithine oleh arginine decarboxylase dan orthinine decarboxylase. Senyawa antara agmatine, yang disintesis dari arginine, diubah menjadi Put, yang kemudian ditransformasi menjadi Spd dan Spm . Untuk lebih jelasnya, lintasan biosintesis Poliamina dapat dilihat pada Gambar 4 (Kaur-Sawhney, 2003). Biosisntesis alternative, methionin diubah menjadi S-adenosylmethionine oleh methionine adenosyltransferase dan S-adenosylmethionine dekarboksilase kemudian terbentuk spermidine dan berikutnya spermine (Kusano, 2008). Lintasan biosintesis poliamina dapat dilihat pada Gambar 4.

clip_image010

Gambar 4. Lintasan biosintesis poliamina pada tumbuhan (Kaur-Sawhney, 2003).

Peran dan Kegunaan Poliamina

Dari beberapa macam pendekatan dan bukti yang ada, poliamina terlibat dalam banyak proses di dalam tanaman. Proses tersebut berupa 1) proses fisiologis pertumbuhan dan perkembangan dan 2) proses pertahanan dan kelangsungan hidup.

Pada proses pertumbuhan dan perkembangan, poliamina terlibat dalam beragam proses seperti replikasi DNA, transkripsi gen, pembelahan sel, perkembangan organ, perkembangan dan pemasakan buah, senescence daun (Kaur-Sawhney, 2002; Groppa dan Benavides, 2007; Kusano, 2008; Gilli dan Tusteja , 2010). Baron dan Stasolla (2008) memberikan daftar yang lebih panjang lagi terhadap keterlibatan poliamina dalam proses fisiologis tumbuhan. Proses tersebut meliputi pembelahan sel, embriogenesis, organogenesis, perkembangan bintil akar, perkembangan bunga, buah, dan polen, senescence, perkecambahan benih, sintesis alkaloid tropane, dinamisasi sitoskeletal, respons stres, fotosintesis, dan berinteraksi dengan hormon. Kusano (2008) menambah daftar peran poliamina, termasuk regulasi ekspresi gen, translasi, proliferasi sel, modulasi signaling sel, dan stabilisasi membran. Poliamina juga memodulasi aktivitas unit tertentu dari saluran ion.

Poliamina juga terlibat dalam proses pertahanan dan kelangsungan hidup. Peran poliamina ini terlihat pada tumbuhan yang mengalami cekaman, baik cekaman abiotik maupun cekaman biotik ((Kaur-Sawhney, 2002; Groppa dan Benavides, 2007; Kusano, 2008; Gilli dan Tusteja , 2010). Pada cekaman abiotik, seperti salinitas, kekeringan, suhu ekstrem, hipoksia, dan malnutrisi, tanaman banyak mengakumulasi poliamina. Pada cekaman biotik, seperti serangan hama dan penyakit, tanaman juga meresponsnya dengan meningkatkan konsentrasi poliamina dalam sel pada jaringan yang terserang (Baron dan Stasolla (2008) ); Kusano, 2007).

Dari segi manfaatnya, poliamina dapat digunakan untuk penanda kanker dan penemuan obat anti kanker. Menurut Vadim (2009) poliamina terlibat dalam sejumlah reaksi biokimia dan digunakan sebagai penanda kanker dan analognya digunakan sebagai obat anti kanker.

Dalam dunia farmasi dan kecantikan, poliamina diklaim dapat memberberikan banyak manfaat. Oryza (2011) menyebutkan bahwa poliamina dapat mencegah arteriosceloris, merangsang pertumbuhan rambut dan kuku, merangsang keratinocytes dan keratin serta berperan sebagai anti aging.

Peran Poliamina terhadap Cekaman Abiotik

Palavan-Ünsal (1995) menyatakan bahwa tanaman tingkat tinggi yang terpapar kondisi lingkungan yang suboptimal atau tercekam meresponsnya dengan mengakumulasi Putrescin dalam konsentrasi tinggi. Pengamatan ini awalnya dimulai oleh Richards dan Coleman tahun 1952 pada tanaman barley yang ditanam pada kultur hidroponik yang kekurangan ion K+. Sejak itu, kondisi cekaman lain juga menunjukkan akumulasi putrescin, antara lain kekurangan air, konsentrasi osmotik internal dan eksternal yang tinggi, konsentrasi NH4+ yang tinggi, H+ dan konsentrasi kation monovalen lainnya, larutan ambien, polutan SO2, O3, Pb2+, suhu rendah, dan suhu tinggi.

Groppa dan Benavides (2008) mereview peran poliamina terhadap salinitas, kekeringan dan stres osmotik. Mereka menyatakan bahwa cekaman garam dan kekeringan adalah dua cekaman abiotik utama di bidang pertanian dan rendahnya potensi air merupakan konsekuensi umum dari keduanya. Salinitas merupakan kendala lingkungan yang kompleks yang disebabkan oleh dua hal, yakni 1) komponen osmotik karena penurunan potensi osmotik eksternal dari larutan tanah dan 2) komponen ionik yang terkait dengan akumulasi ion beracun pada konsentrasi tinggi (terutama Na dan Cl). Konsentrasi garam yang tinggi mengganggu integritas membran sel, aktivitas berbagai enzim dan fungsi aparatus fotosintesis.

Tanaman menanggapi perubahan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan ini dengan mengakumulasi senyawa osmolit berberat molekul rendah seperti prolin dan poliamina. Sampai saat ini, masih belum jelas komponen stres garam yang mana yang bertanggung jawab terhadap akumulasi poliamina, apakah komponen osmotik ataupun komponen ionik, meski banyak laporan telah mencoba untuk menjelaskan petunjuk penting ini selama bertahun-tahun. Demikian pula, belum jelas benar poliamina yang mana yang paling berperan pada kondisi stres ? apakah putrescin, spermidin, atau spermin.

Pengukuran kandungan poliamina pada beberapa kultivar padi menunjukkan bahwa kultivar padi yang toleran garam mempertahankan taraf poliamina yang tinggi, yaitu spermidin (Spd) dan spermin (Spm), sedangkan kultivar padi sensitif garam hanya mempertahankan putrescin (Put) yang tinggi. Kultivar toleran garam AU1, Co43, dan CSC1 efektif dalam mempertahankan konsentrasi Spd dan Spm yang tinggi, sedangkan kandungan Putrescin tidak signifikan berubah pada analisis pertumbuhan ketika tanaman terpapar salinitas.

Sensitivitas terhadap garam pada padi dikaitkan dengan tingginya akumulasi putrescin dan rendahnya Spd dan Spm dalam tunas kultivar sensitif garam Co36 CSC2, GR3, IR20, TKM4, dan TKM9 pada kondisi salin. Membran plasma akar kultivar padi toleran garam Nonabokra dan Pokkali kaya akan Spm dan Spd, sedangkan membran plasma akar kultivar sensitif (M-1-48 dan IR8) hanya kaya akan Put.

Kelihatannya Spd dan Spm berperan terhadap komponen osmotik dan responsnya lebih lama sedangkan Put lebih berperan terhadap komponen ionik yang beracun dan responsnya lebih cepat tetapi sementara. Pada penelitian menggunakan NaCl (100 dan 200 mM) dan mannitol (200 dan 400 mM) pada kalus Fraxinus angustifolia, ditemukan bahwa dalam waktu singkat (30 menit) Put dan Spd meningkat sebagai konsekuensi dari perlakuan garam, dan akumulasi yang terus berlanjut dari Spd dan Spm akibat mannitol.

Poliamina kemungkinan besar berperan dalam menambah rigiditas permukaan membran mikrosomal, menstabilkannya terhadap NaCl dan stres osmotik. Lebih lanjut, konsentrasi poliamina yang lebih tinggi yang terikat pada membran mikrosomal kemungkinan dapat mengurangi pengaruh buruk dari NaCl dan kekurangan air.

Dalam kaitannya dengan kekeringan, kelihatannya spermidin lebih berperan, diikuti spermin. Ada penelitian yang melaporkan bahwa Spd merupakan poliamina utama dalam jaringan yang tercekam kekeringan. Penelitian pada akar kecambah chickpea dan kedelai berumur 7 hari yang diperlakukan dengan cekaman kekeringan 0,8 MPa, menunjukkan bahwa total dan individu poliamina lebih tinggi pada chickpea dibanding kedelai. Tanaman chickpea lebih tahan kekeringan dan mengandung lebih banyak Put dan Spd dibanding tanaman kedelai. Kecambah barley yang diperlakukan dengan Spd sebelum periode kekurangan air mampu mengembalikan peningkatan aktivitas enzim katalase dan peroksidase guaiaco, yang mengindikasikan bahwa Spd dapat mempengaruhi aktivitas enzim penangkap H2O2, dan memoderatkan taraf molekul isyarat ini. Tanaman padi merespons kekeringan dengan meningkatkan Put endogen, tetapi tidak cukup tinggi untuk dikonversi menjadi Spd dan Spm. Sebaliknya, tanaman padi transgenik (Datura adc) menghasilkan Put yang lebih tinggi pada cekaman kekeringan sehingga memacu sintesis Spd dan Spm, kemudian melindungi tanaman dari cekaman kekeringan.

Kusano et al. (2008) lebih jauh mengelaborasi peran poliamina terhadap stres abiotik, khususnya kekeringan. Pada tanaman Arabidopsis, mutan acl5/spms, yang tak mampu memproduksi spermin, menunjukkan hipersensitif terhadap stres garam dan kekeringan dibanding tanaman normal. Fenotipe stres sensitif ini dapat pulih dengan penambahan poliamina eksogen, yaitu putrescin untuk sensitif garam dan spermin untuk sensitif kekeringan. Tanaman Arabidopsis mutan acl5/spsm ini juga hipersensitif terhadap KCl dan tanaman ini juga kekurangan Ca2+. Dari fenomena ini, dapat disimpulkan bahwa kekurangan spermin dapat menyebabkan ketidakteraturan keluar-masuknya ion Ca2+, yang mengakibatkan berkurangnya daya adaptasi terhadap tingginya NaCl dan stres kekeringan. Konsisten dengan data yang ada, poliamina, termasuk spermin, juga dilaporkan menghambat pembukaan stomata dan menginduksi penutupannya. Baru-baru ini juga dilaporkan bahwa poliamina mencegah aliran K+.

Gill dan Tuteja (2010) mengelaborasi aplikasi poliamina eksogen terhadap cekaman kekeringan. Banyak bukti mengindikasikan bahwa aplikasi poliamina eksogen dapat menstabilkan membran sel tanaman dan melindunginya dari kerusakan akibat kondisi stres. Poliamina juga diindikasikan ikut berperan dalam menjaga integritas membran. Pemberian Putrescin eksogen terbukti dapat mengurangi kerusakan oksidatif akibat genangan air pada Allium fistulosuma dengan meningkatnya kapasitas antioksidan. Ditemukan juga bahwa aplikasi Put eksogen menyebabkan berkurangnya kandungan senyawa radikal superoksida O2 dan H202, sehingga mengurangi stres oksidatif pada sel tanaman.

Produksi Poliamina

Konsentrasi poliamina dalam sel normal tumbuhan ada pada rentang dari beberapa ratus mikromolar sampai beberapa milimolar. Konsentrasi ini diatur secara ketat, karena pada taraf yang lebih tinggi, poliamina bersifat racun terhadap sel dan bisa menyebabkan kematian sel (Kusano, 2008). Kekecualian ada pada sel kanker. Pada sel kanker, konsentrasi poliamina melebihi konsentrasi pada sel normal (Yatin, 2002). Pengaturan konsentrasi poliamina dalam sel kelihatannya dilakukan tanaman pada beberapa tahapan proses produksi poliamina.

Produksi Poliamina dalam tumbuhan ditentukan oleh empat hal, yaitu sintesis, penyerapan, transpor, dan degradasi (Yatin, 2002;Kusano, 2008). Namun demikian, penyerapan dan transpor poliamina belum dapat dipertimbangkan dalam proses produksi karena kedua proses tersebut belum diketahui secara detail. Kusano (2008) menyatakan bahwa transpor poliamina pada tumbuhan masih dalam bentuk hipotesis. Demikian pula halnya, poliamina degradasi, mekanismenya masih belum cukup jelas. Untuk poliamina penyerapan, Yatim (2002) menyatakan bahwa poliamina penyerapan dan poliamina sintesis dapat saling disubstitusi. Oleh karena itu, untuk saat ini, pertimbangan bagi produksi poliamina hanyalah dari sisi sintesisnya.

Pada tahap sintesis, produksi poliamina kemungkinan dapat dimanipulasi dengan berbagai cara antara lain dengan memanipulasi bahan baku, produk antara, enzim-enzim yang terlibat, dan faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi poliamina dalam lintasannya, terutama faktor cekaman biotik dan abiotik. Namun demikian, pemilihan bahan baku dan paparan terhadap cekaman merupakan pendekatan yang lebih praktis.

Beberapa jenis tanaman secara alamiah mengandung banyak poliamina di dalam sel dan jaringannya. Menurut Okamoto (1997) dan Oryza (2011) gandum, kedelai dan turunannya, serta teh mengandung banyak poliamina. Kandungan poliamina pada berbagai jenis bahan pangan yang berasal dari tumbuhan disajikan pada Gambar 5.

Paparan tumbuhan pada berbagai cekaman juga merupakan pilihan yang rasional. Banyak penelitian telah membenarkan bahwa cekaman biotik dan abiotik meningkatkan kandungan poliamina dalam tumbuhan. Bentuk cekaman dapat berupa salinitas, kekeringan, suhu ekstrem, hipoksia, dan malnutrisi, serta serangan hama dan penyakit (Alcazar, 2006; Kusano, 2007). Namun demikian Selmar (2007) mengingatkan bahwa peningkatan kandungan metabolit sekunder, termasuk poliamina lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Hal ini dikarenakan umumnya tanaman dalam keadaan tercekam pertumbuhan dan produksi total biomassanya rendah, sehingga secara kuantitatif trade off dengan tingginya kandungan metabolit sekunder.

clip_image012

Gambar 5. Kandungan Poliamina dalam jenis pangan dan minuman (Oryza 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Alca´zar, R. F. Marco, J. C. Cuevas, M. Patron, A. Ferrando, P. Carrasco, A. F. Tiburcio, T. Altabella. 2006. Involvement of Polyamines in plant response to abiotic stress. Biotechnol Lett 28:1867–1876.

Baron, K. and C. Stasolla. 2008. The role of Polyamines during in vivo and in vitro Development. In Vitro Cell.Dev.Biol.-Plant (2008) 44:384–395

Gill, S.S. and N. Tuteja. 2010. Polyamines and abiotic stress tolerance in plants. Plant Signaling & Behavior 5:1, 26-33. Landes Bioscience.

Groppa, M. D. and M. P. Benavides. 2008. Polyamines and abiotic stress: recent advances. Amino Acids (2008) 34: 35–45

Hanson, J. R. 2011. Natural Products: The Secondary Metabolites. University of Sussex

Harborne, J. B. 1984. Phytochemical Methods. Chapman and Hill, Hongkong. In Vitro Cell.Dev.Biol.-Plant 44:384–395.

Kaur-Sawhney, R. , A. F. Tiburcio, T. Altabella, and A. W. Galston. 2003. Polyamines in plants: An overview. Journal of Cell and Molecular Biology 2: 1-12. Haliç University, Turkey.

Kusano, T., T. Berberich · C. Tateda · Y. Takahashi. 2008. Polyamines: essential factors for growth and survival. Planta (2008) 228:367–381.

Kusano, T., K. Yamaguchi, T. Berberich, Y. Takahashi. 2007. The Polyamine Spermine Rescues Arabidopsis from Salinity and Drought Stresses. Plant Signaling & Behavior 2:4, 251-252.

Okamoto A., E. Sugi, Y. Koizumi. F. Yanagida, dan S. Udaka. 1997. Polyamine content of ordinary foodstuffs and various fermented foods. Bios ci.Biotech.Biochem.61(9):1582 – 1584. www.jstage.jst.go.jp/article/bbb1992/61/9/61_9_1582/_pdf.

Oryza. 2011. Polyamine: Natural Ingredient for Healthy Hair and Nail Treatment with Anti-ageing. www.oryza.co.jp/html/…/Poliamina_vol.2.pd. Diakses 21 Oktober 2012.

Palavan-Ünsal, N. 1995. Stress and polyamine metabolism. Bulg. J. Plant Physiol., 1995, 21(2-3), 3–14

Roberts, M.F. , D. Strack and M. Wink. 2010. Biosynthesis of alkaloids and betalains. Annual Plant Reviews 40, 20 – 91. Www.Interscience.Wiley.Com

Royal Society of Chemestry.

Selmar, D. 2007. Potential of salt and drought stress to increase pharmaceutical significant secondary compounds in plants. Agriculture and Forestry Research 1/2(58):139-144 2007.

Springob and Kutchan (2009). Introduction to the Different Classes of Natural Products. Eds. A. E. Osbourn • and V. Lanzotti. Plant-derived Natural Products: Synthesis, Function, and Application. Springer.

Wikipedia. 2012. Polyamine. http://en.wikipedia.org/wiki/Poliamina. Diakses 21 Oktober 2012.

Wink, M. 2010. Introduction: Biochemistry, Physiology and Ecological Functions of Secondary Metabolites. Annual Plant Reviews 40, 1–19. Www.Interscience.Wiley.Com

Yatin, M. 2002. Polyamines in living organisms. Journal of Cell and Molecular Biology 1: 57-67. Golden Horn University, Printed in Turkey.

Optimasi Priming Benih dengan Boron untuk Meningkatkan Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Gandum

by

Saba Iqbal,Muhammad Farooq1, Ahmed Nawaz, Atique-Ur-Rehman And Abdul Rehman

Department of Agronomy, University of Agriculture, Faisalabad-38040, Pakistan

1Corresponding author’s e-mail: farooqcp@gmail.com

Diringkas oleh

Muhammad Hatta

 

Abstrak

Boron (B) memainkan peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kajian ini dilakukan untuk mengoptimalkan perlakuan priming benih dengan B untuk meningkatkan perkecambahan dan pertumbuhan awal kecambah gandum. Benih gandum kultivar Mairaj-208 dan Faisalabad-208 direndam dalam larutan B beraerasi dengan berbagai konsentrasi (0,001; 0,01; dan 0,1 % b/v) selama 12 jam. Benih yang direndam dalam air beraerasi (hidropriming) selama 12 jam dan benih kering yang tidak diperlakukan digunakan sebagai kontrol. Benih gandum yang dipriming dalam larutan B 0,001 dan 0,01% menurunkan waktu berkecambah 50% dan waktu rata-rata berkecambah, akan tetapi tidak mempengaruhi perkecambahan akhir. Di atas konsentrasi itu, ada pengaruh buruk terhadap perkecambahan dan pertumbuhan kecambah kedua kultivar. Priming benih dengan B 0,001% juga meningkatkan panjang akar dan tunas dan berat kering kecambah. Benih gandum dapat dipriming dengan B 0,001% untuk mendapatkan tegakan yang lebih baik dan seragam serta pertumbuhan kecambah gandum yang lebih awal.

Latar belakang penelitian ini adalah sebagai berikut:

Boron merupakan salah satu unsur mineral esensial yang mengatur beberapa proses fisiologis penting termasuk pembelahan dan pemanjangan sel, metabolisme karbohidrat, translokasi asimilat, dan perkembangan dinding. Boron juga memainkan peran penting dalam perkecambahan serbuk sari, pertumbuhan tabung polen, kesuburan bunga dan perkembangan biji. Seperti halnya nutrisi mikro lainnya, pupuk boron dapat diberikan melalui penyemprotan daun, fertigasi, perlakuan benih dan pemupukan tanah. Meskipun, setiap metode pemupukan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, pemberian nutrisi mikro sebagai perlakuan benih atau priming menjadi populer akhir-akhir ini.

Pada priming benih, pertama, benih direndam dalam larutan potensi air rendah untuk jangka waktu tertentu. Kemudian, benih dikeringkan kembali agar penanganan rutin menjadi mudah. Benih yang dipriming menunjukkan perkecambahan yang seragam dan lebih awal serta terkadang total persentase perkecambahannya lebih besar pada berbagai kondisi lingkungan yang beragam.

Peningkatan perkecambahan yang diikuti oleh pertumbuhan dan hasil yang lebih baik disebabkan oleh akumulasi metabolit pemacu perkecambahan, pengaturan osmotik, dan perbaikan metabolik selama imbibisi. Dengan menggunakan sumber hara dan pupuk komersial sebagai bahan priming, efek positif dari priming benih adalah perbaikan suplai nutrisi terhadap benih. Namun demikian, pengaruh positif ini sering bergantung pada konsentrasi hara dalam larutan priming. Sebelumnya, optimalisasi boron (B) sebagai priming benih untuk meningkatkan perkecambahan dan pertumbuhan awal kecambah padi telah pernah dilakukan. Namun, B jarang dicoba sebagai agen priming pada gandum. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengoptimalkan perlakuan priming benih dengan B untuk meningkatkan perkecambahan dan pertumbuhan awal kecambah gandum.

Metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

Benih gandum kultivar Mairaj 2008 dan Faisalabad 2008, yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh masing-masing dari Lembaga Pertanian Regional, Bahawalpur, Pakistan dan Lembaga Penelitian Gandum, Lembaga Penelitian Pertanian Ayub, Faisalabad, Pakistan.

Biji, kedua kultivar gandum, direndam dalam larutan asam borat [0,1, 0,01 dan 0,001% (b /v) boron]. Benih yang direndam dalam air biasa beraerasi dan benih yang tidak diperlakukan digunakan sebagai kontrol. Pada keduanya, perendaman dilakukan selama 12 jam dalam larutan (nutripriming) beraerasi atau air biasa (hidropriming) beraerasi pada rasio benih dengan larutan 1:5 (b/v). Aerasi diberikan dengan pompa akuarium. Setelah dikeluarkan dari masing-masing larutan , benih dibilas dengan air dan dikeringkan di udara di bawah naungan sampai berat awalnya.

Benih yang diperlakukan dan yang tidak diperlakukan dari kedua kultivar gandum ditabur di antara dua lapisan kertas saring Whatman 42 lembab di dalam petridish (masing-masing 10 biji) dan ditempatkan pada suhu kamar (20°C ± 3). Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial dengan lima ulangan.

Percobaan diamati setiap hari untuk mencatat perkecambahan berdasarkan Asosiasi Analis Benih Resmi (AOSA, 1990) sampai hitungan mencapai konstan. Waktu untuk berkecambah 50% (T50) dihitung berdasarkan Farooq et al. (2005). Rata-rata waktu perkecambahan dihitung berdasarkan Ellis dan Roberts (1981) dan perkecambahan akhir dinyatakan dalam persentase. Setelah konstan, tanaman dikurangi dan hanya dipertahankan 3 tanaman saja per petri. Jumlah daun dihitung setiap hari, panjang tunas dan akar diukur dengan penggaris setiap hari sampai panen terakhir. Percobaan dihentikan 10 hari setelah semai dan berat kering bibit ditimbang setelah pengeringan bahan tanaman dalam oven.

Data percobaan dianalisis secara statistik menggunakan software statistik MSTAT-C. Analisis varian digunakan untuk menguji signifikansi dari sumber varian, sedangkan perbedaan di antara perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji BNT (P = 0,05) (Steel et al., 1996). Standar error dihitung dengan MS-Excel dan data disajikan dalam bentuk grafik dengan menggunakan program yang sama.

Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Priming dengan B secara signifikan mempengaruhi waktu berkecambah 50% (Gambar 1), rata-rata waktu berkecambah (Gambar 2) dan perkecambahan akhir (Gambar 3) pada kedua kultivar gandum yang diuji. Pada kedua kultivar gandum, kecuali pada priming benih dengan B 0,1%, priming benih nyata menurunkan waktu berkecambah 50% (Gambar 1) dan rata-rata waktu berkecambah (Gambar 2). Namun, tidak ada perbedaan antara priming benih dengan B 0,01% dan 0,001% dengan hidropriming pada waktu berkecambah 50% (Gambar 1). Pada kultivar Miaraj-2008, priming benih dengan B 0,01% dan 0,001% memiliki rata-rata waktu perkecambahan minimum, namun pada kultivar Faisalabad-2008, rata-rata waktu perkecambahan minimum terlihat pada priming benih dengan B 0,001% dan hidropriming (Gambar 2). Meskipun tidak ada perlakuan benih priming yang meningkatkan perkecambahan akhir, namun priming benih dengan B 0,1% nyata menurunkan perkecambahan pada kedua kultivar gandum (Gambar 3).

clip_image004

Gambar 1. Pengaruh priming benih dengan boron terhadap waktu berkecambah 50% pada gandum kultivar Mairaj-2008 dan Faisalabad-2008.

clip_image006

Gambar 2. Pengaruh priming benih dengan boron terhadap rata-rata waktu berkecambah pada gandum kultivar Mairaj-2008 dan Faisalabad-2008.

clip_image008

Gambar 3. Pengaruh priming benih dengan boron terhadap perkecambahan akhir pada gandum kultivar Mairaj-2008 dan Faisalabad-2008.

Pada kedua kultivar yang diuji, daun muncul lebih awal pada benih yang dipriming dengan larutan B 0,001%. Pada kultivar Mairaj-2008, lebih banyak jumlah daun yang tercatat pada priming benih dengan B 0,001% dari awal sampai akhir, namun pada kultivar Faisalabad-2008, awalnya jumlah daun lebih banyak pada priming benih dengan 0,001%, tetapi pada tahap-tahap selanjutnya lebih banyak jumlah daun tercatat pada hidropriming (Gambar. 4).

clip_image010

Gambar 4. Pengaruh priming benih dengan boron terhadap jumlah daun gandum (a) kultivar Mairaj-2008 dan (b) Faisalabad-2008.

Pada kultivar Mairaj-2008, panjang akar awalnya lebih banyak tercatat pada priming benih dengan larutan B 0,01 dan 0,001%, tetapi pada tahap berikutnya, perlakuan tersebut tidak berbeda dengan kontrol yang tidak diperlakukan. Pada kultivar Faisalabad-2008, benih yang dipriming dengan larutan B 0,01 dan 0,001% memiliki akar lebih panjang dibanding kontrol dari awal sampai akhir. Akan tetapi, priming benih dengan B 0,1% menurunkan panjang akar pada kedua kultivar (Gambar. 5).

clip_image012

Gambar 5. Pengaruh priming benih dengan boron terhadap panjang akar gandum (a) kultivar Mairaj-2008 dan (b) Faisalabad-2008.

Untuk panjang tunas serupa juga, pada kultivar Mairaj-2008, tunas awalnya lebih panjang terdapat pada priming benih dengan B 0,001%, tetapi pada akhirnya, panjang tunas sama pada semua perlakuan kecuali priming benih dengan larutan B 0,1% (Gambar. 6). Akan tetapi, pada kultivar Faisalabad-2008, awalnya tunas lebih panjang pada benih yang dihidropriming, diikuti oleh priming benih dengan larutan B 0,01 dan 0,001%, tetapi pada tahap akhir, panjang akar hampir sama pada semua perlakuan kecuali benih yang dipriming dengan larutan B 0,1%. Pada kedua kultivar, priming benih dengan larutan B 0,1% menurunkan panjang tunas (Gambar 6).

clip_image014

Gambar 6. Pengaruh priming benih dengan boron terhadap panjang tunas gandum (a) kultivar Mairaj-2008 dan (b) Faisalabad-2008.

Pada kedua kultivar, hidropriming dan priming benih dengan larutan B 0,01 dan 0,001% nyata meningkatkan berat kering kecambah dibanding dengan kontrol yang tidak diperlakukan. Priming benih dengan larutan B 0,001% adalah yang terbaik (Gambar 7). Sebaliknya, priming benih dengan lautan B 0,1% nyata menurunkan berat kering kecambah dibandingkan dengan kontrol yang tidak diperlakukan.

clip_image016

Gambar 7. Pengaruh priming benih dengan boron terhadap berat kering kecambah gandum (a) kultivar Mairaj-2008 dan (b) Faisalabad-2008.

Pembahasan yang diberikan adalah sebagai berikut:

Penelitian ini mengungkapkan bahwa priming benih dengan boron, terutama pada konsentrasi rendah, memiliki potensi yang signifikan untuk meningkatkan penampilan kecambah dan pertumbuhan awal bibit gandum. Priming benih dengan larutan boron pada konsentrasi rendah mengurangi waktu berkecambah 50% (Gambar 1) dan rata-rata waktu perkecambahan (Gambar 2), yang menunjukkan kemungkinan keterlibatan boron dalam metabolisme pati pada konsentrasi yang sangat rendah. Keduanya, waktu 50% berkecambah dan rata-rata waktu perkecambahan adalah indikator penting dari vigor benih. Priming benih memicu enzim hidrolitik dan mengubah proses fisiologis embrio, sehingga metabolisme perkecambahan dapat terjadi lebih cepat dari biasanya. Namun, priming dengan konsentrasi boron B yang tinggi adalah beracun bagi pertumbuhan tanaman (Gambar 1-7).

Munculnya daun lebih dini (Gambar 4) dari biji yang dipriming dengan larutan boron pada konsentrasi rendah mungkin merupakan akibat dari permulaan kemunculan yang lebih dini (Gambar 1 dan 2). Ini juga menunjukkan keterlibatan boron dalam pengaturan hormon tanaman, pembelahan sel dan perannya terhadap daerah pertumbuhan aktif tanaman seperti ujung akar, daun baru dan perkembangan tunas. Peningkatan panjang tunas dan akar (Gambar 5 dan 6) pada priming benih dengan boron mengindikasikan kemungkinan boron terlibat dalam pertumbuhan meristematik radikula dan premordia plumula. Permulaan perkecambahan yang lebih dini (Gambar 1 dan 2) dan peningkatan panjang akar dan tunas (Gambar 5 dan 6) memberikan kontribusi pada peningkatan berat bibit kering (Gambar 7) dari priming benih dengan boron 0,001%

Kesimpulannya, priming benih dengan boron 0,001% meningkatkan kedinian dan keseragaman perkecambahan, panjang tunas dan akar, dan berat kering bibit. Priming benih gandum dengan boron 0,001% dapat membantu untuk mendapatkan penampilan bibit yang lebih baik dan seragam serta pertumbuhan bibit yang lebih dini.

Daftar pustaka yang dipakai adalah sebagai berikut:

Al-Mudaris, M.A. and S.C. Jutzi, 1999. The influence of fertilizer-based seed priming treatments on emergence and seedling growth of Sorghum bicolor and Pennisetum glaucum in pot trials under greenhouse conditions. J. Agron. Crop Sci., 182: 135–141 Association of Official Seed Analysts (AOSA), 1990. Rules for testing seeds. J. Seed Technol., 12: 1–112

Bam, R.K., F.K. Kumaga, K. Ofori and E.A. Asiedu, 2006. Germination,vigour and dehydrogenase activity of naturally aged rice (Oryza sativa L.) seeds soaked in potassium and phosphorous salts. Asian J. Plant Sci., 5: 948–955

Bohnsack, C.W. and L.S. Albert, 1977. Early effects of boron deficiency on indole acetic acid oxidase levels of squash root tips. Plant Physiol., 59: 1047–1050 Bradford, K.J., 1986. Manipulation of seed water relations via osmotic priming to improve germination under stress conditions. Hort. Sci., 21: 1105–1112

Burgass, R.W. and A.A. Powell, 1984. Evidence for repair processes in the invigoration of seeds by hydration. Ann. Appl. Biol., 53: 753– 57 Ellis, R.A. and E.H. Roberts, 1981. The quantification of ageing and survival in orthodox seeds. Seed Sci. Technol., 9: 373–409 Farooq, M., A. Rehman, T. Aziz and M. Habib, 2011. Boron nutripriming improves the germination and early seedling growth of rice (Oryza sativa L.). J. Plant Nutr., 34: 1507–1515

Farooq, M., A. Wahid and K.H.M. Siddique, 2012. Micronutrient application through seed treatments – a review. J. Soil Sci. Plant Nutr., 12: 125–142 Farooq, M., S.M.A. Basra, A. Wahid, A. Khaliq and N. Kobayashi, 2009. Rice seed invigoration. In: Lichtfouse, E. (ed.), Organic Farming, Pest Control and Remediation of Soil Pollutants, Sustainable Agriculture Reviews, pp. 137–175. Springer: Berlin

Farooq, M., S.M.A. Basra, M. Khalid, R. Tabassum and T. Mehmood, 2006. Nutrient homeostasis, reserves metabolism and seedling vigor as affected by seed priming in coarse rice. Canadian J. Bot., 84: 1196–1202

Farooq, M., S.M.A. Basra, K. Hafeez and N. Ahmad, 2005. Thermal hardening: a new seed vigor enhancement tool in rice. J. Integr. Plant Biol., 47:187–193

Herrera-Rodriguez, M.B., A. Gonzalez-Fontes, J. Rexach, J.J. Camacho-Cristobal, J.M. Maldonado and M.T. Navarro-Gochicao, 2010. Role of boron in vascular plants and response mechanism to boron stresses. Plant Stress, 4: 115–122

Loomis, W.D. and R.W. Durst, 1992. Chemistry and biology of boron. Biol.Factors, 3: 229–239

Marschner, H., 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd edition, p: 889. Academic Press, New York, USA

Oosterhuis, D.M., 2001. Physiology and Nutrition of High Yielding Cotton in the USA, pp: 18–24. In Informacoes Agronomicas N-Setembro Siddiky, M.A., N.K. Halder, K.U. Ahammad, K.

Anam and M. Rafiuddin, 2007. Response of brinjal to zinc and boron fertilization. Int. J.

Sustain. Agric. Technol., 3: 40–45

Steel, R.G.D., J.H. Torrie and D.A. Dicky, 1997. Principles and Procedures of Statistics, A Biometrical Approach, 3rd edition, pp: 352–358. McGraw Hill, Inc. Book Co., New York, USA

Wang, Q., L.U. Longdou, W.U. Xiaoqin, L.I. Yiqin and L.I.N. Jinxing, 2003. Boron influences pollen germination and pollen tube growth in Picea meyeri. Tree Physiol., 23: 345–351

Warington, K., 1923. The effect of boric acid and borax on the broadbean and certain other plants. Annl. Bot., 37: 457–466

Kajian Pengaruh Salinitas terhadap Pertumbuhan, Kandungan Polifenol, dan Respons Fotosintesis Pada Tanaman Vetiveria zizanioides (L.) Nash

A.V. Mane1, G. D. Saratale2,#, B. A. Karadge3 and J. S. Samant4

1Department of Environmental Sciences, Fergusson College, Pune, India; 2Department of Biotechnology, Fergusson College, Pune, India; 3Department of Botany, Shivaji University,Kolhapur, India; 4Department of Environmental Sciences, Shivaji University, Kolhapur, India;#Department of Biological Environment, College of Agriculture and Life Sciences, Kangwon National University, Chuncheon, Gangwondo, 200-701, South Korea

Emir. J. Food Agric. 2011. 23 (1): 59-70

http://ejfa.info

 

Diterjemah dan Diinterpretasi oleh

Muhammad Hatta

 

 

ABSTRAK

Salinitas adalah salah satu cekaman abiotik utama yang berpengaruh buruk terhadap produktivitas dan kualitas tanaman. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari perubahan karakteristik pertumbuhan, pigmen fotosintesis dan kandungan polifenol Vetiveria zizanioides (L.) di bawah pengaruh salinitas natrium klorida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang tunas Vetiveria zizanioides mengalami peningkatan sebesar 18,6% pada konsentrasi NaCl 200 mM, sedangkan peningkatan panjang akar sekitar 24,8% diamati pada 50 mM NaCl. Rasio tunas/akar berkurang menjadi 10,0% pada konsentrasi 50 mM, sedangkan pada salinitas NaCl 300 mM meningkat sebesar 39,09%. Selain itu, luas daun rata-rata juga meningkat pada kondisi salin. Peningkatan pigmen fotosintetik pada kadar garam yang rendah menunjukkan adanya mekanisme penyesuaian osmotik yang dikembangkan oleh spesies rumput ini untuk menghadapi stres garam. Namun, berat kering dan berat segar biomassa tanaman kurang efektif di bawah stres salinitas. Meningkatnya kandungan polifenol pada salinitas tinggi mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit sekunder. Ada peningkatan konduktivitas listrik dan total padatan terlarut tanah pada salinitas tinggi. Adanya peningkatan peubah pertumbuhan dan fotosintesis yang diamati khususnya pada konsentrasi NaCl 100 mM menunjukkan bahwa rumput ini toleran dan kami menyimpulkan bahwa V. zizanioides dapat ditanam pada daerah bergaram dengan konsentrasi hingga 200 mM.

Kata kunci: Vetiveria zizanioides, pigmen fotosintesis, polifenol, salinitas, karakteristik pertumbuhan, konduktivitas listrik

PENGANTAR

Tanah adalah sumber daya yang berharga terutama di bidang pertanian dan kehutanan, karena tanah diperlukan untuk menghasilkan tanaman, sayuran, buah-buahan, kayu, dan kegitan ekonomi penting lainnya (NEP, 2006). Untuk kesejahteraan generasi mendatang, pengelolaan sumber daya tanah yang berkelanjutan menjadi isu utama di seluruh dunia (Munns, 2002). Sudah diakui bersama bahwa cekaman abiotik termasuk angin kencang, suhu ekstrim, salinitas, kekeringan, banjir dan bencana alam lainnya, seperti tornado dan kebakaran memiliki dampak negatif terhadap organisme yang hidup di suatu lingkungan spesifik dan merupakan faktor yang paling menghambat terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman di seluruh dunia (Mane et al., 2010). Diantara faktor cekaman abiotik di atas, salinitas merupakan salah satu cekaman abiotik utama yang berpengaruh buruk terhadap produktivitas dan kualitas tanaman dengan peningkatan dampak pada aspek sosial ekonomi dan kesehatan, terutama pada masyarakat petani. Salinitas adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan adanya peningkatan kadar garam seperti natrium klorida, magnesium dan sulfat kalsium, dan bikarbonat dalam tanah dan air (Ouda, 2008).

Survei literatur menunjukkan bahwa luasnya daerah yang terkena garam diperkirakan mendekati satu miliar hektar, yakni sekitar 6% dari luas permukaan bumi (FAO, 1997). Di samping itu, sekitar 77 juta hektar lahan telah tersalinasi oleh kegiatan manusia seperti, irigasi tanpa sistem drainase yang tepat, industri limbah, penggunaan pupuk berlebihan, penghilangan tanaman penutup tanah, banjir air asin, permukaan air tanah yang tinggi, dan penggunaan air tanah berkualitas rendah (Parida dan Das, 2005). Lebih lanjut, Oldeman et al. (1991) memperkirakan bahwa 76 juta hektar lahan menjadi salin, dengan 58% terkonsentrasi di daerah beririgasi. Evaluasi terbaru yang dibuat oleh lembaga ini mengungkapkan bahwa hampir 6.730.000 hektar wilayah di India terpengaruh garam (CSSRI, 2009). Ketika salinisasi tanah dinilai dari segi ekonomi, maka alasan untuk khawatir tentang hal itu menjadi lebih jelas. Misalnya, kerusakan ekonomi yang disebabkan oleh salinisasi sekunder diperkirakan mencapai US $ 750 juta per tahun pada bantaran sungai Colorado di Amerika Serikat, sedangkan di timur laut benua Asia, kerugian ditaksir sekitar US $ 300 juta per tahun dan US $ 208 juta per tahun di lembah Murry-Darling di Australia (Ghassemi et al., 1995).

Secara fisiologis dan genetik, toleransi garam adalah sesuatu yang kompleks di antara varietas tanaman dengan berbagai kemampuan adaptasi tanaman halofit dan tanaman yang kurang toleran (Bunga, 2004). Analisis pertumbuhan merupakan elemen mendasar untuk mempelajari respons tanaman terhadap cekaman lingkungan. Selain itu, fotosintesis merupakan salah satu lintasan biokimia yang paling penting, dimana tanaman mempersiapkan sendiri bahan makanannya dan bertumbuh (Kojo, 2004) sedangkan, konsentrasi polifenol dapat dijadikan sebagai indikator kondisi cekaman (Kate, 2008). Pada konsentrasi natrium klorida yang tinggi, dilaporkan terjadi penurunan pertumbuhan genus Populus L. (Sixto et al., 2005). Selain itu, klorofil dan kandungan karotenoid merupakan indikator penting dari tanaman yang sehat dan pernah dilaporkan adanya peningkatan kandungan klorofil pada lingkunan salin, tergantung pada kadar garam (Mane et al., 2010). Beberapa peneliti melaporkan bahwa ada peningkatan kandungan polifenol pada tingkat salinitas yang tinggi, yang menunjukkan bahwa induksi metabolisme sekunder adalah salah satu mekanisme pertahanan yang digunakan oleh tanaman untuk menghadapi lingkungan salin (Kate, 2008).

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari perubahan karakteristik pertumbuhan, pigmen fotosintesis, dan polifenol Vetiveria zizanioides di bawah pengaruh salinitas natrium klorida. Penelitian ini akan berguna untuk pengembangan spesies toleran garam untuk tujuan fitoremediasi.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan

Bibit Vetiveria zizanioides (L.) Nash diperoleh dari kebun bibit pemerintah, Kolhapur, India (Gambar 1). Bibit dipotong secara seragam dengan panjang minimum (kira-kira 4 cm) yang diperlukan untuk pertumbuhannya dan kemudian dipindahtanamkan ke dalam pot tanah (tinggi 30 cm dengan dasarnya menyempit). Pot tanah digunakan pada penelitian ini dengan tujuan untuk melihat dampak dosis salinitas yang akurat yang diberikan pada medium perakaran. Untuk bertumbuh dan berkembang pada kondisi normal, maka diberikan penyiraman secara teratur. Setelah empat minggu, kemudian dipelajari pertumbuhan dalam keadaan tercekam. Tanaman diperlakukan dengan konsentrasi garam natrium klorida yang meningkat, yaitu konsentrasi 25, 50, 100, 200, dan 300 mM. Setiap selang satu hari, tanaman disiram dengan volume ganda untuk mempertahankan konsentrasi garam yang seragam dalam pot dan untuk mengatasi kehilangan air akibat evapotranspirasi dari permukaan tanah dan transpirasi dari permukaan tanaman. Bahan kimia yang digunakan memiliki kemurnian yang tertinggi yang tersedia dan lulus standar analitis.

clip_image004

Gambar 1. Foto Vetiveria zizanioides (L.) Nash dengan sistem akar yang kompleks yang memegang tanah yang terkontaminasi.

Kajian karakter pertumbuhan

Sepuluh tanaman V. zizanioides dari setiap pot perlakuan dengan hati-hati dibongkar akarnya dan dicuci bersih dengan air untuk menghilangkan kotoran tanah dan partikel debu dari permukaan bagian tanaman dan diresapkan pada permukaan yang kering. Tanaman diamati panjang akar, panjang tunas, rasio tunas:akar, tinggi tanaman dan luas daun. Untuk peubah produksi biomassa, berat basah dan berat kering, dan kandungan air diukur dari sepuluh daun random sampel.

Estimasi pigmen fotosintesis

Kandungan klorofil

Klorofil daun dewasa diestimasi dengan metode Armon (1990) dengan sedikit modifikasi. Bahan tanaman segar (1g) digerus dalam morter pada suhu 2⁰C dalam kondisi gelap dan ekstraksi dilakukan dengan aceton 90%, dengan penambahan sedikit magnesium karbonat, untuk melindungi dan menstabilkan klorofil. Ekstrak ini disaring dengan kertas saring Whatman No.1 dengan pengisapan menggunakan corong Buchner. Sisanya dibilas bersih 2-3 kali dengan aceton 90%, kumpulkan semua bilasan pada filtrat yang sama dan volume akhir dari filtrat dibuat sampai 100 ml dengan aceton 90%. Serapan klorofil a dan b diukur dengan menggunakan spektofotometer UV-Visible sinar ganda (Elico Sl-159, India), pada 663 dan 645 nm dengan menggunakan aceton 90% sebagai blank. Formula berikut digunakan untuk menentukan kandungan klorofil.

Klorofil a = X = 12.7 x A663 – 2.69 x A645

Klorofil b = Y = 22.9 x A645 – 4.68 x A663

Total klorofil (a + b) = Z = 8.02xA663+ 20.20 x A645

Klorofil (a)(b)(total) (mg/daun segar) = clip_image006

Kandungan karotenoid

Kandungan karotenoid daun ditentukan dari ekstrak yang sama dengan yang digunakan untuk estimasi klorofil, dengan mengukur serapan pada 480 nm dengan menggunakan spektrofotometer sinar ganda UV-VIS dengan meletakkan aceton 90% sebagai control. Kandungan karotenoid dihitung dengan formula berikut (Kirk and Allen, 1965).

Karotenoid = clip_image008

Kandungan polipenol

Kandungan polipenol daun diestimasi berdasarkan metode dari Folin dan Denis (1915). Dua ml ekstraks aceton yang digunakan pada pengukuran klorofil dicampur dengan 10 ml natrium karbonat 20% dan jadikan volumenya 35 ml dengan air distilasi dan tambahkan 2 ml reagen Folin-Denis, aduk rata dan akhirnya jadikan volume 50 ml dengan air distilasi. Larutan asam tannat standar (0,1 mg.ml-1) digunakan untuk persiapan kurva polipenol standar dengan mengukur serapan pada 660 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visible sinar ganda.

Daya hantar listrik dan total padatan terlarut

Daya hantar listrik (EC) dan total padatan terlarut (TDS) dari tanah ayak yang diperlakukan ditentukan setelah selesainya percobaan (setelah minggu ke 10) dengan mempersiapkan suspensi tanah dalam air 1:10. Suspensi ini dikocok kuat, biarkan selama 12 jam dan kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No.1 untuk analisis. Kedua peubah ditentukan dengan menggunakan Elico EC-TDS meter (CM 183, Make-India) di mana elektrodanya direndam langsung dalam larutan cawan untuk bacaan hasil langsung pada skala digital.

Analisis statistik

Data dianalisis dengan analisis varians satu faktor (ANOVA) dengan uji perbandingan berganda Tukey-Kramer.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh salinitas terhadap panjang tunas V.zizanioides

Pada salinitas yang lebih tinggi, panjang tunas yang rendah dengan kandungan air yang rendah telah dilaporkan (Parvaiz and Riffat, 2005). Khosravinejad et al. (2009) juga menemukan penurunan yang nyata pada pemanjanagan tunas pada genotype barley dengan meningkatnya perlakuan NaCl. Pada penelitian ini, panjang tunas V.zizanioides hanya distimulasi oleh taraf salinitas yang lebih rendah. Panjang tunas V.zizanioides meningkat 18,60% pada konsentrasi 200 mM NaCl (Tabel 1.) Akan tetapi, panjang tunas dihambat oleh konsentrasi NaCl yang lebih tinggi (300 mM) pada media perakaran. Ini menunjukkan bahwa spesies rumput-rumputan toleran pada 200 mM NaCl bila dilihat dari pertumbuhan tanaman.

Pengaruh salinitas terhadap panjang akar V.zizanioides

Meningkatnya panjang akar dengan meningkatnya kadar garam telah diketahui pada Triticum aestivum (Maghsoudi dan Maghsoudi, 2008). Pengaruh salinitas NaCl terhadap panjang akar biasanya lebih besar daripada pengaruh salinitas terhadap tunas pada tingkat salinitas yang lebih rendah (Pessarakli et al., 2004). Pada penelitian ini, akar V. zizanioides lebih panjang pada konsentrasi NaCl 50 mM dengan kenaikan sebesar 24,81% (Tabel 1), tetapi pada konsentrasi tertinggi (300 mM), panjang akar berkurang tajam sebesar 31,77% dibandingkan dengan tanaman kontrol. Dari penelitian ini, jelas bahwa pertumbuhan akar spesies rumput yang diuji lebih sensitif dan sangat dipengaruhi oleh tingkat salinitas yang tinggi. Hal ini mungkin karena sifat NaCl yang beracun pada konsentrasi yang tinggi. Rasio tunas/akar pada spesies yang dicobakan menurun menjadi 10,04% pada konsentrasi NaCl 50 mM tetapi kemudian meningkat dengan meningkatkannya dosis salinitas (Tabel 1). Rasio tunas/akar meningkat tajam disebabkan oleh salinitas NaCl, terutama tingkat salinitas yang tinggi. Ini mungkin disebabkan lebih banyaknya alokasi asimilat dari akar ke tunas.

Pengaruh salinitas terhadap tinggi tanaman V. zizanioides

Hambatan pertumbuhan tanaman merupakan salah satu indeks pertanian yang paling penting dari toleransi cekaman garam (Parida dan Das, 2005). Pengaruh langsung dari penambahan garam ke media akar adalah menurunnya potensial air eksternal dan penurunan serapan air (Munns, 2002). V. Zizanioides menunjukkan peningkatanan tinggi tanaman tertinggi sebesar 17,98% pada konsentrasi NaCl 50 mM, namun ada kecenderungan penurunan tinggi tanaman pada konsentrasi NaCl yang lebih tinggi dan perlakuan NaCl yang lebih lama.

clip_image010

Akumulasi ion beracun, Na+ dan Cl, dalam tanaman sering disebut sebagai penyebab utama penghambat pertumbuhan yang disebabkan oleh salinitas (Marosz dan Nowak, 2008). Jaleel et al. (2008) menemukan bahwa pada cekaman 100 mM NaCl, tinggi tanaman Catharanthus roseus mengalami penurunan sebesar 7% dan 34% pada salinitas rendah dan tinggi dibandingkan dengan kontrol. Pertumbuhan tanaman terjadi terutama karena ekspansi ruang yang dimediasi oleh peningkatan volume vakuola dan penyekatan ion Na+ dan Cl yang memfasilitasi penyesuaian osmotik yang penting terhadap perkembangan sel (Shuji et al., 2002). Dari hasil penelitian ini, jelaslah bahwa tinggi rumput dipengaruhi secara terbalik oleh tingkat salinitas yang tinggi yang kemungkinan disebabkan oleh rendahnya ketersediaan air dan toksisitas natrium klorida (Gambar 3).

Pengaruh salinitas terhadap luas daun Vetiveria zizanioides

Ketika salinitas diaplikasikan pada media perakaran, pemanjangan daun seketika terhenti pada jagung (Munns et al., 2000), tomat (Tantawy et al., 2009) and jowar (Stuart et al., 2000). Pada penelitian ini, rata-rata luas daun meningkat pada kondisi salin. Persentase maksimum peningkatannya tercatat 18,60% (200 mM) pada V. zizanioides (Tabel 1), sementara pada 300mM NaCl, tercatat berkurang sebesar 5,95% dibanding kontrol. Pada kondisi yang hampir sama, Gilbert et al. (1998) menemukan penurunan sekitar 50% ukuran setiap daun Coleus blumei Benth, tetapi itu tetap sedikit lebih tinggi dibanding dengan daun yang tercekam berat. Hal ini diduga bahwa produksi spesies oksigen reaktif (ROS) pada kondisi cekaman air pada apoplas daun merupakan alasan terhadap peningkatan luas daun pada rumput yang tercekam salinitas. Pengaruh negatif dari salinitas pada tanaman dapat memprovokasi potensial osmotik, sehingga sel akar tidak mendapat air yang diperlukan dari media yang berakibat terjadinya hambatan terhadap penyerapan beberapa hara mineral yang menyebabkan perkembangan tanaman yang buruk.

clip_image012

Gambar 2. Pengaruh salinitas NaCl terhadap pertumbuhan Vetiveria zizanioides

Pengaruh salinitas terhadap biomassa berat basah Vetiveria zizanioides

Beberapa peneliti menemukan rendahnya berat berangkasan basah daun tanamn yang tumbuh pada kondisi salin (Parvaiz and Riffat, 2005). Sebaliknya, Ceyhan and Ali (2002) menemukan meningkatnya berat berangkasan basah tanaman sawi pada kondisi salin yang lebih tinggi. Hampir sama dengan berat kering, berat basah tanaman tidak begitu sensitif terhadap cekaman salinitas. Peningkatan berat basah tanaman pada taraf salinitas yang lebih rendah, seperti pada 25 sampai 100 mM mungkin karena peningkatan kandungan airnya (Tabel 1). Walaupun Vetiveria menunjukkan peningkatan pada berat basahnya hingga konsentrasi 200 mM NaCl dibanding control, namun, kondisinya terbalik pada konsentrasi yang lebih tinggi, 300 mM dan ada penurunan dibanding dengan kontrol sebesar 12,44% (Tabel 1). Ada laporan yang menyatakan bahwa terjadi penurunan berat basah tanaman tomat dan dua varietas gandum, yaitu Afzal and EMB82-12 dengan peningkatan taraf salinitas (Tantawy et al., 2009). Penurunan berat basah daun rumput mungkin disebabkan oleh cekaman kandungan air tanah yang terjadi pada kondisi salin dan penghambatan pertumbuhan oleh cekaman salinitas selama tahap perkembangan awal (Khosravinejad et al., 2009).

Berat Kering

Serupa dengan penurunan pada berat berangkasan basah daun, konsentrasi NaCl yang tinggi juga menyebabkan penurunan berat berangkasan kering daun (Parvaiz dan Riffat, 2005). Berat berangkasan kering Halosarcia pergranulata tertinggi dijumpai pada tanaman yang tumbuh pada 10 sampai 300 mol m-3 NaCl tetapi menurun ketika tanaman diberikan konsentrasi NaCl 400 mol m-3 atau lebih tinggi (Digby dan Timotius, 1999). Berbeda dengan hal itu, Ceyhan dan Ali (2002) melaporkan adanya peningkatan berat kering tanaman selada pada kondisi salin. Cicek dan Cakirlar (2002) juga menemukan penurunan berat kering total pada tanaman jagung berumur 30 hari pada lingkungan salin. Hal ini membuktikan bahwa berat kering tanaman tidak sensitif pada cekaman salinitas. Pada penelitian ini, berat kering V. zizanioides meningkat sebesar 33,60% pada konsentrasi 100 mM NaCl. Vetiveria menunjukkan peningkatan berat kering yang terus berlanjut sampai pada konsentrasi NaCl 200 mM dibanding kontrol, namun dipengaruhi secara terbalik pada konsentrasi yang lebih tinggi, 300 mM (Tabel 1). Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa berat kering daun tanaman meningkat akibat perlakuan salinitas dengan penurunan yang tegas hanya pada konsentrasi NaCl 300 mM. Stimulasi seperti itu dalam produksi bahan kering pada perlakuan salinitas mungkin disebabkan oleh akumulasi ion anorganik dan senyawa organik bagi adaptasi osmotik, sementara penurunan berat kering daun tanaman pada tingkat salinitas tertinggi mungkin disebabkan oleh terhambatnya hidrolisis makanan cadangan dan translokasinya ke bagian titik tumbuh.

Pengaruh salinitas terhadap kadar air V. zizanioides

Tanaman telah mengevolusi mekanisme penyesuaian osmotik, yang mempertahankan penyerapan air dan turgor dalam kondisi cekaman osmotik dan mensintesis senyawa organik yang kompatibel seperti prolin, betaine, poliol, dan gula (Chinnusamy et al., 2005). Meningkatnya kadar air pada lingkungan salin menunjukkan kadar air yang lebih tinggi per unit luas daun, yang dapat mengencerkan garam terakumulasi dalam larutan sel (Marosz dan Nowak, 2008). Hal ini sangat jelas dari persentase kadar air daun yang meningkat karena salinitas NaCl, tetapi ada penurunan drastis dari kandungan air daun pada tingkat konsentrasi NaCl 300 mM. Kadar air daun V. zizanioides meningkat maksimal sebesar 21,33% pada 100 mM NaCl (Tabel 1). Demikian pula Rodriguez et al, 1997 mengamati penurunan cepat dari potensial air daun, konduktansi stomata, dan kandungan air relatif daun pada tanaman tomat. Pada penelitian ini, penurunan kadar air daun rumput pada tingkat cekaman salinitas yang tinggi mungkin disebabkan oleh stres osmotik yang diinduksi oleh NaCl yang tidak dapat dinetralisir oleh tanaman di bawah stres berat, sementara peningkatan pada konsentrasi rendah mungkin karena daya adaptasi tanaman terhadap penyesuaian osmotik yang mempertahankan penyerapan air dan turgor melalui akumulasi senyawa organik.

Pengaruh salinitas terhadap kinerja fotosintesis V. zizanioides

Kandungan Klorofil

Kandungan klorofil dalam tanaman secara langsung berkorelasi dengan kesehatan tanaman (Zhang et al., 2005). Resistensi sistem fotosintesis terhadap salinitas terkait dengan kapasitas tanaman secara efektif menyekap ion-ion dalam sitoplasma, vakuola dan kloroplas (Croser et al., 2001). Rendahnya kandungan klorofil pada kondisi stres merupakan fenomena biasa dan dilaporkan dalam banyak penelitian. Ini mungkin disebabkan oleh kerusakan membran (Djanaguiraman et al., 2006). Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kandungan klorofil Vetiveria tidak banyak terpengaruh oleh salinitas sampai pada konsentrasi NaCl 100 mM, tetapi penurunan kandungan klorofil teramati pada konsentrasi NaCl yang melampaui 100 mM. Konsekuensinya, rasio klorofil a : klorifil b meningkat jauh dalam daun Vetiveria zizanioides yang tumbuh pada konsentrrasi Na Cl sampai dengan 100 mM (Tabel 2). Dengan demikian, kiranya cukup jelas bahwa konsentrasi garam tinggi (300 mM) memiliki pengaruh negatif terhadap rasio klorofil a : klorifil b, pada spesies rumput (Tabel 2). Selanjutnya, juga dapat dilihat bahwa kandungan klorofil a dan klorofil b memiliki kecenderungan yang sama, meningkat atau menurun. Namun demikian, kelihatannya klorofil a lebih sensitif terhadap salinitas dibanding klorofil b.

Penurunan kandungan klorofil ditambah dengan peningkatan konsentrasi garam telah dilaporkan pada Picea mariana, Picea glauca dan Pinus banksiana (Croser et al., 2001). Pada penelitia ini, jelaslah bahwa kandungan klorofil total dalam daun Vetiveria zizanioides lebih tinggi pada salinitas yang lebih rendah. Peningkatan kandungan klorofil yang demikian mungkin disebabkan oleh mekanisme penyesuaian osmotik yang dikembangkan oleh tanaman, sementara penurunan kandungan klorofil pada konsentrasi yang lebih tinggi (300 mM) mungkin terkait dengan gangguan pada fungsi seluler dan kerusakan rantai transpor elektron fotosintesis karena akumulasi ion. Penurunan drastis rasio klorofil a : klorifil b pada konsentrasi salinitas yang lebih tinggi menunjukkan bahwa klorofil a bisa jadi digantikan oleh klorofil b.

clip_image014

Kandungan karotenoid

Dalam proses fotosintesis, karotenoid melindungi kloroplas dari kerusakan foto-oksidatif. Selain itu, karotenoid juga bertindak sebagai pigmen pemanen cahaya untuk menyerap energi cahaya di kisaran 400-500 nm (biru), yang tidak dapat diserap oleh klorofil dan melewatkan energi eksitasi kepada molekul klorofil (Kojo, 2004). Karotenoid juga merupakan salah satu antioksidan nonenzimatik bersama dengan vitamin C, vitamin E, dan asam lipoat dan memainkan peran penting dalam perlindungan terhadap stres oksidatif (Parida dan Das, 2005). Pada penelitan ini, peningkatan maksimum kandungan karotenoid diamati sebesar 23.09% (pada 50 mM NaCl), sementara penurunan drastis sebesar 83.69% (pada 300 mM NaCl) dibanding kontrol dalam daun Vetiveria zizanioides (Tabel 3). Penurunan kandungan karotenoid karena stres salinitas telah diamati pada Brassica juncea, murbei, dan Aegiceros corniculatum (Parida dan Das, 2005). Dari hasil penelitian ini, penurunan kandungan karotenoid dalam daun Vetiveria menunjukkan bahwa konsentrasi garam yang tinggi bertindak sebagai penghambat dan tidak mampu mencegah kloroplas dari kerusakan foto-oksidatif. Sebaliknya pada konsentrasi yang lebih rendah, karotenoid melaksanakan peran pelindungan bagi kloroplas dan bertindak sebagai pigmen.

Pengaruh cekaman salinitas terhadap kandungan polifenol

Perhatian pada pengaruh salinitas terhadap metabolisme polifenol pada tumbuhan sangat sedikit diberikan. Pada penelitian ini, kandungan polifenol daun Vetiveria zizanioides menurun pada tingkat salinitas yang lebih rendah, yaitu 25 dan 50 mM tetapi kemudian ada kenaikan kandungan polifenol (Tabel 3). Peningkatan maksimum kandungan polifenol daun Vetiveria diamati sebesar 37.58% (300 mM) (Tabel 3). Demikian pula, Parida dan Das (2005) mengamati terjadinya akumulasi polifenol pada Bruguiera parviflora dengan peningkatan tingkat salinitas. Menurut mereka, akumulasi polifenol memainkan peran kunci pada tumbuhan terhadap stres. Peningkatan yang besar dari kandungan polifenol daun di bawah kondisi salinitas NaCl telah diamati pada Brassica campastris (Singh dan Kumari, 2006). Peningkatan kandungan polifenol pada kadar salinitas yang tinggi menginduksi akumulasi metabolit sekunder pada spesies yang dicobakan agar dapat mentolerir tingkat stres salinitas yang lebih tinggi dan kondisi yang merugikan.

clip_image016

Konduktivitas listrik (EC)

Konduktivitas adalah ekspresi numerik dari kemampuan air untuk membawa arus listrik yang bervariasi, tergantung pada jumlah dan jenis ion dalam larutan. Pengaruh salinitas NaCl terhadap EC tanah ditentukan dan digambarkan pada Gambar 2. Jelaslah bahwa EC tanah pot meningkat dengan semakin tingginya tingkat NaCl. EC tanah meningkat maksimal sebesar 508,42% pada tanah pot Vetiveria zizanioides pada konsentrasi NaCl 300 mM. Berbagai tingkat EC pada tanah pot mungkin disebabkan oleh kapasitas pengikatan akar tanaman yang berbeda dan persaingan akar untuk mendapatkan nutrisi dari tanah. Kenaikan serupa dalam konduktivitas listrik dari tanah media perakaran karena penambahan NaCl telah dilaporkan sebelumnya (Gokhale et al., 2008).

clip_image018

Gambar 3. Pengaruh natrium klorida terhadap konduktivitas listrik dan total padatan terlarut.

Total Padatan Terlarut (TPT)

Total padatan terlarut secara sederhana adalah jumlah konsentrasi kation dan anion yang dinyatakan dalam mg L-1. Pengaruh salinitas NaCl terhadap TPT tanah diteliti dan diilustrasikan pada Gambar 3. Jelas terlihat bahwa TPT dalam tanah meningkat dengan semakin tingginya tingkat NaCl. TPT meningkat secara maksimal sebesar 982,71% pada Vetiveria zizanioides pada konsentrasi NaCl 300 mM yang ditambahkan ke dalam pot tanah. Pengamatan serupa ditemukan oleh Gokhale et al. (2008) pada tanah media tumbuh akibat penambahan NaCl eksternal. Berbagai tingkat TPT dalam media disebabkan oleh penambahan NaCl eksternal dan interaksinya dengan akar dan ion organik-anoganik telah terjadi dalam tanah asal.

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa panjang tunas dan akar Vetiveria zizanioides dirangsang oleh konsentrasi salinitas yang lebih rendah, sebaliknya dihambat oleh konsentrasi salinitas yang lebih tinggi. Menurunnya berat berangkasan basah daun Vetiveria mungkin disebabkan oleh stres kadar air yang terjadi pada kondisi salin, sementara stimulasi produksi bahan kering karena akumulasi ion anorganik dan senyawa organik terlarut. Penurunan drastis rasio klorofil a : b pada tingkat salinitas yang lebih tinggi menunjukkan klorofil a mungkin digantikan oleh klorofil b. Penurunan kandungan karotenoid dalam daun Vetiveria menunjukkan bahwa konsentrasi garam yang tinggi merupakan penghambat dan tidak dapat mencegah kloroplas dari kerusakan fotooksidatif. Akan tetapi, meningkatnya kadar polifenol pada konsentrasi salinitas yang tinggi menunjukkan bahwa terjadi akumulasi metabolit sekunder untuk meningkatkan toleransi terhadap stress garam yang tinggi. Hasil ini juga mengindikasikan bahwa Vetiveria zizanioides memperlihatkan toleransi salinitas yang lebih baik bila dilihat dari pertumbuhan tanaman yang linier. Spesies ini dapat digunakan untuk reklamasi daerah yang terkontaminasi oleh salinitas tinggi melalui cara fitoremediasi, akan tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mempelajari mekanisme toleransi garam pada tanaman rumput tertentu.

Ucapan Terima Kasih

Penulis berterima kasih kepada Dr. P.D. Raut, Kepala, Departemen Ilmu Lingkungan, Universitas Shivaji, Kolhapur, India atas penyediaan fasilitas yang diperlukan. Penulis juga ingin berterima kasih atas bantuan dan dukungan dari Dr. R.G. Pardeshi, Kepala, Sekolah Tinggi Fergusson, Pune. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. A.N. Sadale dan Dr. P.A. Banne atas sarannya yang berharga untuk studi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arnon, D. I. 1949. Copper enzyme in isolated chloroplasts: polyphenol oxidase in Beta vulgaris. Plant Physiol. 24:1-15.

Ceyhan, T. and I. Ali. 2002. Changes induced by salinity, demarcating specific ion ratio (Na/Cl) and osmolality in ion and proline accumulation, nitrate reductase activity and growth performance of lettuce. J. Plant Nutr. 25:27-41.

Chinnusamy, V., J. Andre, and J. K. Zhu. 2005. Understanding and improving salt tolerance in plants. Crop Sci. 45:437-448.

Cicek, N. and H. Cakirlar. 2002. The effect of salinity on some physiological parameters in two maize cultivar. Bulg. J. Plant Physiol. 28:66-74.

Croser, C., S. Renault, J. Franklin, and J. Zwiazek. 2001. The effect of salinity on the emergence and seedling growth of Picea mariana, Picea glauca and Pinus banksiana. Env. Pollution. 115:9-16.

CSSRI. 2009. Central Soil Salinity Research Institute, India. http://www.cssri.org/

Djanaguiraman, M., J. A. Sheeba, A. K. Shanker, D. Durgadevi and U. Bangarusamy. 2006. Rice can acclimate to lethal level of salinity by pre-treatment with sub lethal level of salinity through osmotic adjustment. Plant Soil. 284:363-373.

Digby, C. S. and D. C Timothy. 1999. Salt tolerance in the halophyte Halosarcia pergranulata subsp. pergranulata, Ann.Bot. 83:207-213.

FAO. 1997. <http://www.fao.org/ag/agl/agll/spush/table3.htm&gt;.

Flowers, T. J. 2004. Salt tolerance is complex genetically and physiologically. J. Exp. Bot. 55:307-319.

Folin, O. and W. Denis. 1915. A calorimetric estimation of phenols and phenol derivatives in urine. J. Biol. Chem. 22:305-308.

Ghassemi, F., A. J. Jakeman, and H. A. Nix. 1995. Salinisation of land and water resources: human causes, extent, management and case studies. Australian National University, Canberra, Australia and CAB International, Wallingford, Oxon, UK.

Gilbert, G. A., M. V. Gadush, C. Wilson, and M. A. Madore. 1998. Amino acid accumulation in sink and source tissues of Coleus bumei benth. during salinity stress. J. Exp. Bot. 49:107-114.

Jaleel, C. A., S. Beemarao, S. Ramalingam, and P. Rajaram. 2008. Soil salinity alters growth, chlorophyll content and secondary metabolite accumulation in Catharanthus roseus, Turk. J. Biol. 32:79-83.

Kate, V. V. 2008. Physiological and biochemical studies in some medicinal plants: Tribulus terrestris L. and Pedalium murex L. Ph. D. Thesis submitted to Shivaji University, Kolhapur, Maharashtra, India.

Khosravinejad, F., R. Heydari, and T. Faboodnia. 2009. Effect of salinity on organic solutes contents in barley. Pak. J. Biol. Sci. 12:158-162.

Kirk, J. O. T. and R. L. Allen. 1965. Dependence of salinity stress on the activity of glutamine synthatase and glutamate dehydrogenase in triticale seedlings. Polish J. Env. Studies. 14:523-530.

Kojo, S. 2004. Vitamin C: Basic metabolism and its function as an index of oxidative stress. Curr. Med. Chem. 11:1041-1064.

Mane, A. V., B. A. Karadge and J. S. Samant, 2010. Salinity induced changes in photosynthetic pigments and polyphenols of Cymbopogon nardus (L.) Rendle. J. Chem. Pharm. Res. 2:338-347.

Marosz, A. and J. S. Nowak. 2008. Effect of salinity stress on growth and macroelements uptake of four tree species. Dendrobiol. 59:23-29.

Maghsoudi, A. M. and K. Maghsoudi. 2008. Salt stress effects on respiration and growth of germinated seeds of different wheat (Triticum aestivum L.) Cultivars. World J. Agri. Sci. 4:351-358.

Munns, R. 2002. Comparative physiology of salt and water stress. Plant Cell Environ. 25:239-250

Munns, R., J.Guo, J. B. Passioura, and G. R. Cramer. 2000. Leaf water status controls day-time but not daily rates of leaf expansion in salt-stressed barley. Aust. J. Plant. Physiol. 27:949-957. NEP. 2006. National Environmental Policy of India by Ministry of Environment and Forest.

Oldeman, L. R., E. V. W. P. Van and J. H. M. Pulles. 1991. The extent of human induced soil degradation. In: L. R. Oldeman, R. T. A. Hakkeling and W. G. Sombroek. (Eds.). World map of the status of human-induced soil degradation: an explanatory note. International Soil Reference and Information Centre (ISRIC), Wageningen, 37.

Ouda, S. A. E., S. G. Mohamed and F. A. Khalil. 2008. Modeling the effect of different stress conditions on maize productivity using yield-stress model. Int. J. Nat. Engg. Sci. 2:57-62.

Parida, A. K. and A. B. Das. 2005. Salt tolerance and salinity effect on plants: A Review. Ecotoxicol. Environ. Safety 60:324-349.

Parvaiz A. and J. Riffat. 2005. Effect of salt stress on growth and biochemical parameters of Pisum sativum L. Arch. Agron. Soil. Sci. 51:665-672.

Pessarakli, M., K. B. Marcum, D. M. Kopec, and Y. L. Qian. 2004. Interactive effects of salinity and primo on the growth of Kentucky bluegrass. The University of Arizona College of Agriculture Turfgrass and Ornamental Research Report. http://cals.arizona.edu/pubs/crops/az1359/

Rodriguez, P., J. Dell’amico, D., Morales. M. J. Sa and N. Blanco. 1997. Effects of salinity on growth, shoot water relations and root hydraulic conductivity in tomato plants. J. Agricultural Sci. 128:439-444.

Shuji, Y., A. B. Ray, and M. H. Paul. 2002. Salt stress tolerance of plants. JIRCAS Working Report: 25-33.

Singh, A. K. and B. Kumari. 2006. Physiological basis of salinity tolerance in rapeseed (Brassica campestris. Var. Toria) during seedling growth. Physiol. Mol. Biol. Plants. 12:167-171.

Sixto, H., J. M Grau, N. Alba and R. Alia. 2005. Response to sodium chloride in different species and clones of genus Populus L. Forestry 78:93-104.

Stuart, F. B., N. T. Phong, and K. S. Wendy. 2000. Effects of salinity on xylem structure and water use in growing leaves of sorghum. New Phytol. 146:119-127.

Tantawy, A. S., A. M. R. Abdel-Mawgoud, M. A. and El-Nemr, Y. G. Chamoun. 2009. Alleviation of salinity effects on tomato plants by application of amino acids and growth regulators. Eur. J. Sci. Res. 30:484-494.

Gokhale M. V., S. V. Toro, S. C. Patil and N. S. Chavan 2008. Effect of vehicular pollution on shoot height and leaf surface structure in Nerium indicum Mill. Bioinfolet, 5:143-144.

Zhang, M., Z. Qiu and X. Liu. 2005. Remote sensed spectral imagery to detect late blight in field tomatoes. Precision Agric. 6:489-508

Respons Tanaman terhadap Penggenangan

by

Claire Parent1, Nicolas Capelli1, Audrey Berger2, Michèle Crèvecoeur2, James F. Dat1*

1Laboratory of Chrono-Environment, UMR UFC/CNRS 6249 USC INRA, University of Franche-Comtè,

F-25030 Besanзon Cedex, France

2Plant Biology Department, University of Geneva, Quai Ernest-Ansermet 30, CH 1211 Geneva 4, Switzerland

Corresponding author * james.dat@univ-fcomte.fr

 

Disarikan oleh

Muhammad Hatta

ABSTRAK

Pada kondisi alami, tanaman sering tergenang air, baik sementara maupun permanen. Genangan air secara drastis mempengaruhi fisiko-kimia tanah, terutama potensial redoks, pH dan O2 tanah. Dengan demikian, kondisi hipoksia atau anoksia sering dialami oleh sistem perakaran tanaman. Kondisi O2 yang terbatas ini mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup tanaman. Salah satu respons terbaik tanaman terhadap genangan air tanah adalah beralih dari metabolisme respirasi aerobik kepada respirasi fermentasi anaerob. Kenyataannya, kebanyakan protein yang terbentuk selama kondisi hipoksia adalah enzim-enzim yang terlibat dalam pembentukan jalur fermentasi ini. Karena sel tanaman perlu menjaga pasokan ATP secara terus menerus, maka penggunaan akseptor elektron alternatif dan/atau jalur alternatif merupakan elemen kunci untuk bertahan hidup dalam kondisi tergenang air tanah. Respons tanaman dapat juga berupa menurunnya konduktansi stomata dan fotosintesis, serta konduktivitas hidrolik akar. Perubahan fisiologis ini pada gilirannya mempengaruhi cadangan dan translokasi karbohidrat. Kenyataannya, penggunaan karbohidrat yang efisien bisa menjadi pembeda antara spesies yang toleran dan yang tidak toleran. Adaptasi lain yang diamati adalah perubahan morfologi yang terdiri dari pembentukan lentisel hipertrofi, inisiasi akar adventif dan/atau perkembangan aerenkhima. Pengetahuan kita tentang mekanisme adaptasi dasar tanaman terhadap genangan air diperoleh dari pendekatan genomik dan proteomika. Namun, beragamnya respons adaptasi yang terjadi merupakan kesulitan ketika mempelajari masalah stres ini. Tinjauan ini mengulas pemahaman kita mengenai respons metabolis, fisiologis, dan morfologi dan adaptasi tanaman terhadap genangan air.

Kata kunci: anoxia, adaptasi, hipoksia, akar, tanah genangan air

Singkatan: ABA, Asam abscissic; ADH, Alkohol dehidrogenase; ANPs, Protein anaerob; Eh, Potensial redoks; Hb, Hemoglobin; IAA, Auksin; LDH, Dehidrogenase laktat; Lp, Konduktivitas hidrolik; NO, Oksida nitrat; PDC, Piruvat dekarboksilase; PIPs, plasma membran intrinsicproteins

PENDAHULUAN

Genangan air tanah telah lama diidentifikasi sebagai stres abiotik utama dan kendala yang diberikannya pada akar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Bila peristiwa ini terjadi pada musim semi, maka genangan air ini dapat mengurangi perkecambahan benih dan perkembangan bibit. Dengan demikian, genangan air merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup spesies tanaman, tidak hanya pada ekosistem alami, tetapi juga pada sistem pertanian dan hortikultura (Dat et al. 2006).

Setelah penggenangan, terjadi perubahan yang cepat pada sifat tanah. Pada saat air memenuhi pori-pori tanah, udara didesak keluar, difusi gas berkurang dan senyawa beracun terakumulasi akibat kondisi anaerobik. Semua perubahan ini sangat mempengaruhi kemampuan tanaman untuk bertahan hidup. Sebagai responsnya, resistensi stomata meningkat, fotosintesis dan konduktivitas hidrolik akar menurun, dan translokasi fotoassimilat berkurang. Namun demikian, salah satu adaptasi terbaik tanaman terhadap hipoksia/anoksia adalah peralihan proses biokimia dan metabolisme yang umum terjadi pada saat ketersediaan O2 terbatas (Dat et al. 2004). Sintesis yang selektif satu set dari sekitar 20 protein stres anaerobik (ANPS) memungkinkan terjadinya proses metabolisme penghasil energi tanpa oksigen di bawah kondisi yang anaerob (Subbaiah dan Sachs 2003). Adaptasi lain yang diamati adalah perubahan morfologi yang terdiri dari pembentukan lentisel hipertrofi, inisiasi akar adventif dan/atau perkembangan aerenchyma (Vartapetian dan Jackson 1997, Jackson dan Colmer 2005; Folzer et al., 2006). Tinjauan ini merinci respons stres tanaman yang beragam terhadap hipoksia/anoksia, yang disebabkan oleh genangan air tanah/banjir dan mengkaji beberapa fitur kunci dari adaptasi metabolisme, fisiologis dan morfologis.

PERUBAHAN LINGKUNGAN AKAR SELAMA PENGGENANGAN

Pada saat air menggenangi tanah, ruang udara dipenuhi air, mengakibatkan terjadinya perubahan karakteristik beberapa fisiko-kimia tanah (Kirk et al 2003; Dat et al.2004). Hal pertama yang terjadi sebenarnya adalah adanya peningkatan H2O: tanah jenuh air ciri dari banjir. Namun demikian, mekanisme yang memicu respons tanaman adalah produk dari banjir zona akar (perubahan redoks dan pH tanah, dan penurunan kadar O2).

Potensial redoks (Eh) tanah sering dianggap sebagai indikator yang paling tepat dari perubahan kimia yang terjadi saat banjir (Pezeshki dan Delaune 1998). Eh umumnya menurun selama tergenang air tanah (Pezeshki dan Delaune 1998; Pezeshki 2001, Boivin et al 2002; Lu et al 2004). Potensial redoks tidak hanya merupakan indikator dari kadar O2 (Eh sekitar +350 mV dalam kondisi anaerob) Pezeshki dan De Laune 1998) karena kondisi reduktif menyebabkan kompetisi tinggi akan O2, tetapi juga mempengaruhi ketersediaan dan konsentrasi pelbagai nutrisi tanaman ( Pezeshki 2001). Akan tetapi, perubahan Eh dipengaruhi oleh bahan organik serta Fe dan Mn (Lu et al 2004.). Reduksi tanah memacu pelepasan kation dan fosfor melalui adsorpsi ion besi dan pelarutan oksida (Boivin et al. 2002). Kondisi tanah yang reduktif juga mendukung produksi etanol, asam laktat, asetaldehida, dan asam asetat dan formiat.

Karakteristik kimia tanah lainnya yang sangat dipengaruhi oleh kondisi genangan adalah pH tanah, yang berkorelasi negatif dengan Eh (Singh 2001; Zarate-Valde et al 2006). PH tanah umumnya cenderung meningkat menuju netral pada kondisi tergenang air (Lu et al. 2004). Peningkatan pH dapat dijelaskan oleh pelarutan karbonat dan bikarbonat di awal genangan (Lu et al. 2004). PH tanah juga mempengaruhi perombakan bahan organik tanah dan proses seperti mineralisasi, nitrifikasi, dan hidrolisis urea (Probert dan Keating 2000).

Secara keseluruhan, salah satu efek utama genangan air adalah rendahnya keberadaan O2 di bagian tanaman yang terendam, karena gas O2 berdifusi 10.000 lebih cepat di udara dibandingkan di dalam air. Pengaruh terbatasnya O2 pada metabolisme sel tergantung pada konsentrasinya dan penurunan ketersediaan O2 secara gradual pada akar memiliki berbagai pengaruh pada metabolisme tanaman: i) normoxia memungkinkan respirasi aerobik dan metabolisme normal dan sebagian besar ATP dihasilkan melalui fosforilasi oksidatif, ii) hipoksia terjadi ketika penurunan O2 yang tersedia mulai menjadi faktor pembatas untuk produksi ATP melalui fosforilasi oksidatif dan, iii) anoxia ketika ATP hanya dihasilkan melalui glikolisis fermentasi, karena tidak ada O2 yang tersedia lagi. Dengan demikian, karena kondisi anaerobik berkembang di tanah tergenang air, maka ada peningkatan jumlah produk sampingan dari metabolisme fermentasi yang terakumulasi di lingkungan perakaran dan kadar CO2, metana, dan asam lemak volatile meningkat (Pezeshki 2001). Penurunan energi yang tersedia memiliki konsekuensi yang dramatis pada proses seluler, yang menyebabkan ketidakseimbangan dan/atau kekurangan air dan hara nutrisi (Dat et al. 2006). Selain itu, perubahan lingkungan ini juga dapat membuat tanaman lebih rentan terhadap stres lainnya, khusus terhadap infeksi patogen (Munkvold dan Yang 1995, Yanar et al 1997;Balerdi et al.2003).

clip_image004

Gambar 1. Skema diagram jalur metabolik utama yang dusulkan pada saat tanaman mengalami stres genangan.

 

Hipoksia menyebabkan penurunan respirasi mitokondria, yang sebagian dikompensasi oleh peningkatan baik pada glikolisis maupun pada fermentasi. Nitrat telah diusulkan sebagai akseptor elektron perantara ketika konsentrasi O2 rendah dan mungkin ikut serta pada oksidasi NAD(P)H selama hipoksia (Igamberdiev et al.2005). NO dapat dioksigenasi menjadi nitrat dengan O2 yang terikat erat pada hemoglobin kelas-1 [Hb(Fe2+)O2], yang dioksidasi menjadi metHb[Hb(Fe3+)]. Enzim alanin aminotransferase yang mengubah piruvat menjadi alanin banyak diinduksi dalam kondisi hipoksia. Namun, tidak seperti pembentukan etanol, tidak ada konsumsi NAD(P)H dalam proses ini (Gibbs dan Greenway 2003) MetHb-R: methemoglobin reduktase; NO: nitrat oksida.

RESPONS METABOLISME DAN ADAPTASI TERHADAP HIPOKSIA DAN ANOKSIA

Akibat langsung dari genangan air adalah periode hipoksia, diikuti oleh penurunan tajam dari O2 yang menyebabkan kondisi anoksia (Blom dan Voesenek 1996). Kekurangan oksigen seluler disebut "hipoksia" ketika kadar oksigen membatasi respirasi mitokondria dan “anoksia” saat respirasi benar-benar terhambat. Ketika respirasi menurun, aliran elektron melalui jalur respirasi berkurang, sehingga mengurangi produksi ATP. Akibatnya, bahan kimia pengoksidasi (yaitu nicotinamide adenin dinukleotida, NAD) harus dihasilkan melalui jalur alternatif yang tidak menggunakan O2 sebagai akseptor elektron terminal (Roberts et al 1984; Drew et al 1994; Drew 1997; Summers et al 2000) . Ketika fosforilasi oksidatif adenosine difosfat (ADP) terbatas, maka tanaman mengubah metabolismenya dari respirasi aerobik menjadi fermentasi anaerob (Gambar 1) (Peng et al 2001; Fukao dan Bailey-Serres 2004). Jalur fermentasi anaerob berfungsi sebagai rute metabolisme aman dan mencakup dua tahap: karboksilasi piruvat menjadi asetaldehida (dikatalisis oleh piruvat dekarboksilase, PDC) dan berikutnya reduksi asetaldehida menjadi etanol dengan diiringi oksidasi NAD (P) H menjadi NAD (P), dikatalisis oleh alkohol dehidrogenase (ADH) (Vartapetian dan Jackson 1997, Kingston-Smith dan Theodorou 2000;. Nakazono et al 2000). Jalur metabolisme fermentasi hanya memungkinkan sintesis 2 mol ATP dibandingkan 36 ATP per mol glukosa yang dihasilkan pada respirasi aerobik. Untuk mengimbangi defisit energi, glikolisis dipercepat, menyebabkan menipisnya cadangan karbohidrat ("Pasteur efek"). Tidak mengherankan, enzim yang berperan dalam jalur fermentasi (lihat PDC dan ADH di atas) termasuk kelompok dari sekitar 20 ANPS, diinduksi secara selektif selama stres hipoksia, sedangkan keseluruhan sintesis protein berkurang (Sachs et al.1980;. Chang et al 2000). ANPS yang diinduksi dalam kondisi hipoksia adalah enzim glikolisis, fermentasi etanol, proses yang terkait dengan metabolisme karbohidrat, tetapi juga yang lainnya yang terlibat dalam pembentukan aerenchyma (xyloglucans endotransglycosylase) dan pengendali pH sitoplasma (Vartapetian 2006).

Spesies yang toleran terhadap genangan air umumnya dianggap yang mampu mempertahankan status energinya melalui fermentasi. Selain kemampuannya untuk menjaga tingkat energi yang tepat, pemeliharaan pH sitosol sangat penting. Ketika hipoksia atau anoksia terjadi, pH sitoplasma menunjukkan penurunan awal yang dikaitkan dengan produksi awal asam laktat melalui fermentasi. Menurut "teori pH-stat Davies-Roberts", penurunan pH memungkinkan pengalihan dari laktat ke fermentasi etanol dengan menghambat laktat dehidrogenase (LDH) dan aktivasi ADH (Chang et al. 2000). Karena asidosis dapat menginduksi nekrosis sel, pengalihan yang terjadi dapat mempertahankan pH di sekitar 6,8, sehingga memungkinkan kelangsungan hidup sel. Meskipun hipotesis ini telah diverifikasi pada beberapa kasus, ada banyak laporan yang mempertanyakan model ini (Tadege et al. 1998; Kato-Noguchi 2000b). Memang, jelaslah sekarang bahwa korelasi antara laktat dengan asidifikasi sitoplasma tidak ubiquitus pada semua jaringan tanaman yang dipelajari (Felle 2005).

Karena O2 kurang dalam kondisi hipoksia, maka ia harus diganti dengan akseptor elektron alternatif. Bahkan, nitrat telah lama dianggap sebagai akseptor elektron terminal bagi mitokondria tanaman di bawah kondisi hipoksia atau anoxia (Vartapetian dan Polyakova 1998; Vartapetian et al 2003). Baru-baru ini reduksi nitrat telah diteliti sebagai jalur respirasi alternatif dan ini menjadi sangat penting untuk pemeliharaan redoks dan homeostasis energi sel dalam kondisi oksigen yang terbatas (Igamberdiev dan Hill 2004). Urutan reaksinya, yang disebut sebagai siklus Hb/NO di mana NO (nitrat oksida) dioksidasi menjadi nitrat, melibatkan hemoglobin non-simbiosis kelas 1 yang diinduksi dalam kondisi hipoksia (Gambar 1) (Dordas et al.2003 , 2004, Perazzolli et al. 2004; Parent et al. 2008a). Postulat Siklus Hb/NO baru-baru ini didemostrasikan pada akar hipoksia dan selain penting bagi respons tanaman terhadap genangan, ia juga memainkan peran di awal perkecambahan benih (Hebelstrup et al.2007)

RESPONS FISIOLOGIS TERHADAP GENANGAN

Salah satu respons fisiologis awal tanaman terhadap genangan adalah pengurangan konduktansi stomata (Gambar 2) (Sena Gomes dan Kozlowski 1980; Pezeshki dan Chambers 1985; Folzer et al 2006). Genangan tidak hanya meningkatkan resistensi stomata tetapi juga membatasi penyerapan air, sehingga kemudian mengarah kepada defisit air internal (Jackson dan Hall 1987, Ismail dan Noor 1996, Pezeshki et al 1996;. Pezeshki 2001, Nicolas et al 2005;Folzer et al 2006; Parent et al 2008a).

Rendahnya kadar O2 juga dapat mengurangi konduktivitas hidrolik (Lp) akibatnya kepada penurunan permeabilitas akar (Clarkson et al. 2000; Else et al. 2001.). Penurunan Lp bisa dihubungkan dengan molekul aquaporin oleh pH sitosol (Tournaire-Roux et al. 2003). Bukti menunjukkan bahwa regulasi protein membran plasma intrinsik (PIPs) oleh pH sangat relevan pada kondisi anoksia (Postaire et al.2007), sebagai residu histidin cadangan pada posisi 197 di Loop D intraseluler telah diidentifikasi sebagai tempat pH-sensing utama dalam kondisi fisiologis (Tournaire-Roux et al.2003; Kaldenhoff dan Fischer 2006; Secchi et al 2007). Kenyataannya, pengaturan gen aquaporin umumnya dikaitkan dengan penurunan Lp akar karena aquaporins mengendalikan pergerakan air radial dalam akar (Utara et al 2004;. Vandeleur et al 2005.). Dengan demikian, tampaknya bahwa rendahnya Lp di seluruh tanaman pada kondisi tergenang air kemungkinan besar terkait dengan hambatan transportasi air oleh aquaporin, meskipun studi mendalam tentang pengaruh aquaporin terhadap pengaturan ke seluruhan tata air tanaman selama tergenangan air masih kurang. Selain itu, rendahnya pergerakan air radial sebagian dapat dijelaskan oleh adanya gradien oksigen antar bagian dalam jaringan akar. Sesungguhnya, ada bukti yang jelas bahwa dalam tanah yang tergenang air, ada gradien O2 antara stele yang mungkin dalam kondisi anoksia, dengan sel-sel kortek yang mungkin hanya dalam kondisi hipoksia (Thomson dan Greenway 1991; Colmer 2003). Dengan demikian, perbedaan-perbedaan ini dalam lingkungan mikro juga dapat menyebabkan perbedaan antar bagian pada tingkat energi sel dan kemudian rendahnya Lp akar.

Kekurangan O2 umumnya menyebabkan sangat cepat berkurangnya laju fotosintesis pada tanaman yang tidak toleran genangan, yang umumnya dianggap sebagai hasil dari berkurangnya mulut stomata (Huang et al, 1997;. Gravatt dan Kirby 1998; Pezeshki dan Delaune 1998;. Malik et al 2001). Faktor-faktor lain seperti penurunan kadar klorofil daun, penuaan dini daun, dan penurunan luas daun juga dapat menyebabkan penghambatan fotosintesis pada tahap berikutnya (Sena Gomes dan Kozlowski 1980; Cao dan Conner 1999). Ketika berkepanjangan, stres dapat menyebabkan penghambatan aktivitas fotosintesis pada jaringan mesofil (Huang et al 1994; Liao dan Lin 1994; Pezeshki et al 1996), serta penurunan aktivitas metabolik dan translokasi fotoasimilat ( Pezeshki 1994; Drew 1997, Pezeshki 2001, Sachs dan Vartapetian 2007). Dampak dari berkurangnya fotosintesis pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman bisa jadi sangat dramatis dan secara bersamaan dapat menyebabkan disfungsi fisiologis seperti penghambatan transportasi air dan perubahan keseimbangan hormon (Vuylsteker et al 1998; Kato-Noguchi 2000a; Else et al 2001; Gunawardena et al 2001). Untuk mempertahankan aktivitas metaboliknya, tanaman harus menggunakan cadangan karbohidratnya. Karena pasokan karbohidrat awal berkorelasi dengan tingkat toleransi terhadap hipoksia/anoksia pada banyak spesies, mungkin melalui keterlibatan dalam menyediakan energi selama kondisi anaerobik, maka tingkat cadangan karbohidrat menjadi faktor penting dari toleransi terhadap genangan dalam jangka panjang (Setter et al.1997; Ram et al 2002). Sebagai contoh, peningkatan kemampuan untuk memanfaatkan gula melalui jalur glikolisis memungkinkan bibit padi untuk bertahan hidup lebih lama dalam genangan (Ito et al. 1999).

Meskipun tanaman memiliki cadangan gula tinggi, namun cadangan gulanya harus tersedia dan mudah dikonversi melalui jalur glikolisis yang efisien. Kenyataannya, ketersediaan fotoassimilat bagi sel pada kondisi anaerobik telah diusulkan sebagai salah satu tahap pembatas bagi tanaman untuk bertahan hidup dalam kondisi tergenang (Pezeshki 2001). Sesungguhnya, tanah yang tergenang air cenderung mengurangi translokasi produk fotosintesis dari "source" daun kepada "sink" akar (Barta dan Sulc 2002, Yordanova et al. 2004). Dengan demikian, pemeliharaan aktivitas fotosintesis dan akumulasi gula terlarut ke akar jelaslah merupakan adaptasi penting terhadap genangan air (Chen et al. 2005).

clip_image006

Gambar 2. Keadaan fisiko-kimia utama yang terjadi pada rizosfer selama tergenang air dan perubahan metabolisme dan fisiologis yang diiukti oleh inisiasi respons adaptasi.

ADAPTASI MORFOLOGI DAN ANATOMI TERHADAP GENANGAN

Terbentuknya lentisel hipertrofi merupakan perubahan anatomi umum yang diamati pada pelbagai spesies tanaman berkayu selama tergenang (Gambar 3) (Yamamoto et al.1995, Kozlowski 1997). Pertumbuhan hipertrofi terlihat sebagai pembengkakan jaringan di dasar batang dan diyakini merupakan hasil dari pembelahan dan pembesaran sel radial. Fenomena ini telah lama dikaitkan dengan keberadaan auksin (IAA) dan produksi etilen (Blake dan Reid 1981; Kozlowski 1997). Perkembangan lentisel hipertrofi ini diyakini untuk memfasilitasi difusi O2 ke arah bawah dan menjadi ventilasi potensial bagi senyawa yang diproduksi di akar sebagai produk samping dari metabolisme anaerobik (etanol, CH4, CO2). Meskipun masih belum ada konsensus yang jelas mengenai peran fisiologis yang sebenarnya, jumlah lentisel ini telah dikaitkan dengan meningkatnya toleransi terhadap genangan pada spesies Quercus (Colin-Belgrand et al. 1991; Parelle et al.2006b). Selain itu, lentisel hipertrofi cenderung lebih berkembang di bawah permukaan air (Tang dan Kozlowski 1982; Parelle et al. 2006a) yang tidak mendukung perannya sebagai fasilitator penting bagi masuknya dan pengiriman O2 kepada sistem perakaran, sebagaimana yang diasumsikan. Dengan demikian lebih mungkin bahwa lentisel sebenarnya membantu mempertahankan homeostasis air saat tergenang, dengan cara menggantikan sebagian sistem akar yang membusuk dan memberikan sarana pengambilan air bagi tunas. Untuk mendukung peran tersebut, lentisel permeabel terhadap air (Groh et al. 2002), adanya kecenderungan konduktansi stomata untuk kembali menuju tingkat yang terkontrol setelah penurunan sementara secara umum telah dikaitkan dengan perkembangan lentisel hipertrofi ini (Pezeshki 1996, Gravatt dan Kirby 1998; Folzer et al. 2006), dan kehadiran mereka dikaitkan dengan pemeliharaan status air tanaman selama stres genangan pada spesies Quercus (Parent et al. 2008a). Dengan demikian, meskipun fungsi mereka masih belum begitu jelas, tampaknya lentisel mungkin memainkan peran penting dalam adaptasi terhadap kondisi genangan pada beberapa spesies dengan cara membantu mempertahankan homeostasis air tanaman.

Adaptasi morfologi penting lainnya terhadap genangan adalah perkembangan akar adventif (Gambar 3), yang berfungsi menggantikan akar utama (Bacanamwo dan Purcell 1999; Gibberd et al. 2001, Malik et al. 2001). Pembentukan akar khusus ini terjadi ketika sistem perakaran asli tidak mampu memasok air dan mineral yang dibutuhkan tanaman (Mergemann dan Sauter 2000). Selain itu, membusuknya sistem akar utama dapat dianggap sebagai pengorbanan untuk memungkinkan penggunaan energi yang lebih efisien bagi pengembangan sistem akar yang lebih sesuai (Dat et al. 2006).

Akar adventif biasanya terbentuk di dekat pangkal batang atau di wilayah di mana lentisel berlimpah, dan pertumbuhan mereka adalah lateral, sejajar dengan permukaan air/tanah. Kehadiran akar adventif di perbatasan antara permukaan tanah jenuh air dengan atmosfir mencerminkan pentingnya akar ini dalam menggantikan sistem akar yang normal baik di dalam air maupun jauh di permukaan air tanah. Selain itu, kemampuan untuk memproduksi akar adventif umumnya terkait dengan meningkatknya toleransi terhadap genangan dan perkembangan akar adventif ini telah banyak dikaitkan dengan produksi etilen (Voesenek et al 1993; Mergemann dan Sauter 2000;. Steffens et al 2006). Baru-baru ini, molekul lainnya telah diidentifikasi sebagai pemain kunci dalam inisiasi akar adventif ini (Pagnussat et al, 2002; 2003; 2004). Sesungguhnya, data terakhir menunjukkan bahwa produksi NO bekerja searah dengan IAA dalam pengendalian pembentukan akar adventif. Namun, pemahaman tentang peran NO dalam pembentukan akar adventif masih dini dan temuan mengenai peran penting NO terhadap toleransi stres genangan ada di masa depan.

Terakhir, salah satu respons yang paling penting terhadap genangan air adalah terbentuknya ruang kosong (aerenkhima) pada korteks akar (Gambar 3). Terbentuknya aerenkhima ini mungkin merupakan respons terhadap genangan baik pada spesies yang toleran maupun yang tidak toleran (Vartapetian dan Jackson 1997, Schussler dan Longstreth 2000, Chen et al 2002;. Evans 2004). Akan tetapi, pembentukan aerenchyma merupakan respons adaptif pada spesies toleran genangan saja, khususnya pada spesies berkayu lahan basah (Kludze et al 1994; Pezeshki 1996). Peningkatan porositas dapat meningkatkan ventilasi pada bagian atas tanaman dan pengudaraan senyawa beracun yang diproduksi di akar (misalnya, etanol, metana) (Visser et al 1997;Visser dan Pierik 2007) dan/atau meningkatkan difusi longitudinal gas pada akar sehingga meningkatkan aerasi (Laan et al 1991; Evans 2004). Ternyata, proporsi aerenkhima umumnya dianggap sebagai faktor pembeda utama antara tumbuhan lahan basah dan tumbuhan bukan lahan basah (Vasellati et al. 2001).

Terbentuknya jaringan aerenkhima atau ruang kosong ini tidak hanya pada akar saja. Jaringan ini juga terlihat pada seludang daun ketika terendam air dan membentuk sistem interkoneksi ventilasi tunas-akar (Jackson dan Armstrong, 1999; Fabbri et al 2005). Aerenkhima meningkatkan porositas jaringan yang dapat terbentuk dengan sendirinya sebagai akibat dari perubahan yang terkait dengan tekanan osmotik dari bentuk sel (Gambar 3) (Justin dan Armstrong 1987; Folzer et al. 2006). Perubahan bentuk sel dan bongkahannya pada korteks akar sangat mungkin terkait dengan meningkatnya aktivitas enzim pelunak dinding sel dan dengan deposit suberin pada eksodermis (Colmer 2003, De Simone et al 2003; Armstrong dan Armstrong 2005; Enstone dan Peterson 2005) .

clip_image008

Gambar 3. Adaptasi anatomi dan morfologi yang terjadi selama tanaman tergenang air

Terbentuknya eksodermis yang bersuberin berkorelasi dengan terbentuknya aerenkhima pada jagung (Enstone dan Peterson 2005) dan berhubungan dengan berkurangnya kehilangan O2 akar (Visser et al., 2000; Armstrong dan Armstrong 2005). Adanya penghalang di permukaan korteks itu bisa jadi tidak hanya mengurangi kehilangan O2 ke rhizosfer, tetapi juga dapat melindungi tanaman dari fitotoksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme di sekitar akar (Soukup et al, 2002; Armstrong dan Armstrong 2005; Soukup et al. 2007).

Proses perkembangan aerenkhima telah lama diteliti dan sekarang telah jelas bahwa setidaknya ada dua jenis proses yang terlibat. Yang pertama adalah perkembangan konstitutif, yang terjadi baik pada tumbuhan yang tergenang air maupun tidak. Proses ini terbentuk oleh sel yang memisah selama perkembangan jaringan. Tipe kematian sel yang berlangsung melalui sel yang memisahkan diri ini disebut schizogeny (dibentuk oleh pemisahan sel) dan perkembangannya diatur dan tidak terkait dengan rangsangan dari luar. Ini adalah hasil dari pola khusus jaringan yang sangat teratur dari pemisahan sel. Jenis lain dari proses kematian sel disebut lysogeny (dibentuk oleh kerusakan parsial dari korteks), yang menyerupai kematian sel yang terprogram, biasanya terlihat pada saat respons hipersensitif dari interaksi patogen-tumbuhan (Mittler et al, 1997; Induk et al 2008b.) dan lebih baru lagi diidentifikasi pada saat cekaman abiotik lainnya (Pellinen et al.1999; Dat et al 2001; Dat et al 2003; Van Breusegem dan Dat 2006). Proses kematian sel aktif yang berlangsung selama pembentukan aerenkhima dikendalikan secara genetik dan menunjukkan banyak kesamaannya dengan apoptosis, meskipun ada banyak bukti bahwa hal itu umumnya kurang memiliki beberapa fitur dari kematian sel apoptosis (Buckner et al. 2000). Sebagai contoh, pada tumbuhan Sagittaria lancifolia, perubahan inti (penggumpalan kromatin, fragmentasi, gangguan membran inti), adalah peristiwa yang paling awal terjadi, setelah tergenang air. Perubahan inti ini diikuti oleh membran plasma menjadi keriting, disintegrasi tonoplas, pembengkakan dan gangguan organela, hilangnya isi sitoplasma dan hancurnya sel (Schussler dan Longstreth 2000). Urutan kejadian ini tampaknya umum terjadi pada sebagian besar spesies yang dipelajari, meskipun waktu gangguan tonoplas bervariasi (Schussler dan Longstreth 2000).

KESIMPULAN

Bahasan ringkas ini mengulas pemahaman kita tentang respons biokimia, fisiologis dan morfologi tumbuhan terhadap genangan. Perubahan yang terjadi pada zona akar dan penerimaannya oleh tumbuhan merupakan hal penting bagi terbentuknya respons yang tepat. Perubahan difusi gas, lingkungan kimia tanah (pH, Eh) dan akumulasi produk samping beracun dari proses anaerobik, ditambah dengan menurunnya kadar O2 jelaslah merupakan kunci bagi kemampuan tumbuhan untuk mengatur respons yang tepat. Gejala-gejala adaptasi meliputi perubahan metabolisme yang dapat membantu mempertahankan integritas sel tanaman. Meskipun kurang efisien dibanding proses aerobik, lintasan fermentasi anaerobik dapat mempertahankan pH sel dan juga homeostasis ATP. Selain lintasan glikolisis ke laktat dan etanol, reduksi nitrat dapat digunakan sebagai lintasan alternatif untuk membantu mempertahankan homeostasis redoks dan energi pada kondisi hipoksia dan anoksia. Gejala lainnya seperti cadangan karbohidrat yang lebih tinggi dan/atau penggunaannya yang efisien, mempertahankan fotosintesis dan status air tanaman melalui pemanjangan batang/tunas atau molekul aquaporin dapat sangat meningkatkan kelangsungan hidup tanaman yang terendam air. Akhirnya, perubahan morfologi seperti pembentukan lentisel, perkembangan aerenkhima, inisiasi akar adventif dan/atau suberisasi akar tidak hanya dapat memperbaiki tingkat difusi O2 ke titik tumbuh tumbuhan yang tergenang tetapi juga membantu meringankan kekurangan air dan unsur hara. Sebagian besar gejala adaptasi ini telah diidentifikasi dengan baik pada spesies model yang beradaptasi dengan kondisi tergenang seperti jagung, padi dan carex, namun peran yang tepat dari lentisel serta proses molekuler yang terlibat dalam pembentukan aerenkhima masih perlu dipelajari lebih lanjut. Selain itu, pemahaman kita tentang respons adaptasi spesies berkayu yang membentuk ekosistem hutan masih dini sekali.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis berterima kasih kepada the Conseil Regional de Franche Comte atas bantuan dana. C Parent adalah penerima beasiswa doctor dari the «Ministиre de l’Education Nationale, de la Recherche et de laTechnologie».

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong J, Armstrong W (2005) Rice: Sulfide-induced barriers to root radial oxygen loss, Fe2+ and water uptake, and lateral root emergence.Annals of Botany 96, 625-638

Bacanamwo M, Purcell LC (1999) Soybean dry matter and N accumulation responses to flooding stress, Nsources and hypoxia. Journal of Experimental Botany 50, 689-696

Balerdi CF, Crane JH, Schaffer B (2003) Managing your tropical fruit grove under changing watertable levels. Fact Sheet HS 957, 1-5

Barta AL, Sulc RM (2002) Interaction between waterlogging injury and irradiance level inalfalfa. Crop Science 42, 1529-1534

Blake TJ, Reid DM (1981) Ethylene, waterrelations andtolerance to waterlogging of three Eucalyptusspecies.Australian Journal of Plant Physiology 8,497-505

Blom CW, Voesenek LA (1996) Flooding: The survival strategies of plants. Tree Physiology 11, 290-295

Boivin P, Favre F, Hammecker C, Maeght JL, Delariviиre J, Poussin JC, Wopereis MCS (2002)Processes driving soil solution chemistry in a flooded rice-cropped vertisol: Analysis of long-time monitoring data. Geoderma 110,87-107

Buckner B, Johal GS, Janick-Buckner D (2000) Cell deathinmaize. Physiologia plantarum 108, 231-239 Cao FL, Conner WH (1999) Selection of flood-tolerant Populus deltoides clones for reforestation projects in China. Forest Ecology and Management 117, 211-220

Chang WP, Huang L, Shen M, Webster C, Burlingame AL, Roberts JK (2000) Patterns of protein synthesis and tolerance of anoxia in root tips of maize seedlings acclimated to a low-oxygen environment, and identification of proteinsby mass spectrometry. Plant Physiology 122, 295-318

Chen H, Qualls R, Blank R (2005) Effect of soil flooding on photosynthesis, carbohydrate partitioning and nutrient uptake in theinvasiveexotic Lepidium latifolium Aquatic Botany 82, 250-268

Chen H, Qualls R, Miller G (2002)Adaptive responses of Lepidium latifolium to soil flooding: Biomass allocation,adventitious rooting, aerenchyma formation and ethylene production. Environmental and Experimental Botany 48,119-128

Clarkson DT, Carvajal M, Henzler T, Waterhouse RN, Smyth AJ, Cooke DT, Steudle E (2000) Root hydraulic conductance: Diurnal aquaporin expression and the effects of nutrient stress. Journal of Experimental Botany 51,61-70

Colin-Belgrand M, Dreyer E, Biron P (1991) Sensitivity of seedlings from different oak species to waterlogging: Effects on root growth and mineral nutrition Annales des Sciences Forestieres 48, 193-204

Colmer TD (2003) Long-distance transport of gases in plants: A perspective on internal aeration and radial oxygen loss from roots. Plant, Cell and Environment 26, 17-36

Dat J, Capelli N, Folzer H, Bourgeade P, Badot P-M (2004) Sensing and signaling during plantflooding. Plant Physiology and Biochemistry 42, 273-282

Dat J, Folzer H, Parent C, Badot P-M, Capelli N (2006) Hypoxiastress:Current Understanding and Perspectives. In: Teixeira da Silva JA (Ed) Floriculture, Ornamental and Plant Biotechnology: Advances and Topical Issues (Vol 3), Global Science Books, Isleworth, United Kingdom,pp664-674

Dat JF, Inzй D, Van Breusegem F (2001) Catalase-deficient tobacco plants: Tools for in planta studies on therole ofhydrogen peroxide. Redox Report 6, 37-42

Dat JF, Pellinen R, Beeckman T, Van De Cotte B, Langebartels C, Kangasjarvi J, Inzй D, Van Breusegem F (2003) Changes in hydrogen peroxide homeostasis trigger an active cell death process intobacco. Plant Journal 33,621-632

De Simone O, Haase K, Muller E, Junk WJ, Hartmann K, Schreiber L, Schmidt W (2003) Apoplasmic barriers and oxygen transport properties of hypodermal cell walls in roots from four Amazoniantreespecies. Plant Physiology 132, 206-217

Dordas C, Hasinoff B, Rivoal J, Hill R (2004) Class-1 hemoglobins, nitrate and NO levels in anoxicmaizecell-suspension cultures. Planta 219, 66-72

Dordas C, Rivoal J, Hill R (2003) Plant haemoglobins, nitricoxide and hypoxic stress. Annals of Botany 91, 173-178

Drew M (1997) Oxygen deficiency and root metabolism: Injury and acclimation under hypoxia and anoxia. Annual Review Plant Physiology and Plant Molecular Biology 48, 223-250

Drew MC, Cobb BG, Johnson JR, Andrews D, Morgan PW, Jordan W, Jiu HC (1994) Metabolic acclimationof root tips tooxygen deficiency. Annals of Botany 74, 281-286

Else MA, Coupland D, Dutton L, Jackson MB (2001) Decreased root hydraulic conductivity reduces leaf water potential, initiates stomatal closure and slows leaf expansion in flooded plants of castor oil (Ricinus communis) despitediminisheddelivery of ABA from the roots to shoots in xylem sap. Physiologia Plantarum 111, 46-54

Enstone DE, Peterson CA (2005) Suberin lamella development in maize seedling roots grown in aerated and stagnant conditions. Plant, Cell and Environment 28, 444-455

Evans DE (2004) Aerenchyma formation. New Phytologist 161, 35-49

Fabbri LT, Rua GH, Bartoloni N (2005) Different patterns of aerenchyma formation in two hygrophytic species of Paspalum (Poaceae) as response to flooding. Flora: Morphology, Distribution, Functional Ecology of Plants 200,354-360

Felle HH (2005)pH regulation in anoxic plants. Annals of Botany 96, 519-532

Folzer H, Dat J, Capelli N, Rieffel D, Badot P-M (2006) Response to flooding of sessile oak: Anintegrativestudy. Tree Physiology 26, 759-766

Fukao T, Bailey-Serres J (2004) Plant responses to hypoxia- is survival a balancing act? Trends in Plant Science 9, 449-456

Gibberd MR, Gray JD, Cocks PS, Colmer TD (2001) Waterloggingtolerance amonga diverse range of Trifolium accessions is related to root porosity, lateral root formation and’aerotropic rooting’. Annals of Botany 88, 579-589

Gibbs J, Greenway H (2003) Mechanisms of anoxia tolerance in plants. I. Growth, survival and anaerobic catabolism. Functional Plant Biology 30, 1-47

Gravatt DA, Kirby CJ (1998) Patterns of photosynthesis and starchallocation in seedlings of four bottomland hardwood tree species subjected to flooding. Tree Physiology 18, 411-417

Groh B, Hubner C, Lendzian KJ (2002) Water and oxygen permeance of phellems isolated from trees: The role of waxes and lenticels. Planta 215,794-801

Gunawardena A, Pearce D, Jackson M, Hawes C, Evans D (2001) Characterisation of programmed cell death during aerenchyma formationinduced by ethylene orhypoxiain roots of maize (Zea mays L.). Planta 212, 205-214 Hebelstrup KH, Igamberdiev AU, Hill RD (2007) Metabolic effects of hemoglobin gene expressioninplants. Gene 398, 86-93

Huang B, Johnson JW, NeSmith DS (1997) Responses to root-zone CO2 enrichment and hypoxia of wheat genotypesdiffering in waterlogging tolerance. Crop Science 37, 464-468

Huang B, Johnson JW, Nesmith S, Bridges DC (1994) Growth,physiological and anatomical responses of two wheat genotypes to waterlogging and nutrient supply. Journal of Experimental Botany 45, 193-202

Igamberdiev A, Hill R (2004) Nitrate, NO and haemoglobin in plant adaptation tohypoxia: an alternativeto classic fermentationpathways. Journal of Experimental Botany 55, 2473-2482

Igamberdiev AU, Baron K, Manac’h-Little N, Stoimenova M, Hill RD (2005) The Haemoglobin/Nitric oxide cycle: Involvement in flooding stress and effects onhormonesignalling. Annals of Botany 96, 557-564

Ismail MR, Noor KM (1996) Growth and physiological processes of young starfruit (Averrhoa carambola L.) plants under soil flooding. Scientia Horticulturae 65, 229-238 Ito O, Ella E, Kawano N (1999) Physiological basis of submergence tolerance in rainfed lowland rice ecosystem. Field Crops Research 64, 75-90

Jackson MB, Armstrong W (1999) Formation of aerenchyma and the processes of plant ventilation in relation tosoil flooding and submergence. Plant Biology 1, 274-287 Jackson MB, Colmer TD (2005) Response and adaptation by plants to flooding stress. Annals of Botany 96, 501-505

Jackson MB, Hall KC (1987) Early stomatal closurein waterlogged pea plants is mediated by abscisic acid inthe absence of foliar water deficits. Plant, Cell and Environment 10, 121-130

Justin SHFW, Armstrong W (1987) The anatomical characteristics of roots and plantresponse to soil flooding. New Phytologist 106, 465-495

Kaldenhoff R, Fischer M (2006) Functional aquaporin diversity in plants. Biochimica and Biophysica Acta – Biomembranes 1758, 1134-1141

Kato-Noguchi H (2000a) Abscisic acid and hypoxicinduction of anoxia tolerance in roots of lettuce seedlings. Journal of Experimental Botany 51, 1939-1944

Kato-Noguchi H (2000b) Evaluation of the importance of lactate for the activation of ethanolic fermentationin lettuce roots inanoxia. Physiologia Plantarum 109, 28-33

Kingston-Smith AH, Theodorou MK (2000) Post-ingestion metabolism of fresh forage. New Phytologist 148, 37-55

Kirk GJD, Solivas JL, Alberto MC (2003) Effects of flooding and redox conditions on solute diffusion in soil. European Journal of Soil Science 54, 617-624

Kludze HK, Pezeshki SR, DeLaune RD (1994) Evaluation of root oxygenation and growth in bald cypressin response to short-termsoilhypoxia. Canadian Journal of Forest Research 24, 804-809

Kozlowski T (1997) Responses of woody plants to flooding and salinity. Tree Physiology Monograph 1, 1-29

Laan P, Clement JMAM, Blom CWPM (1991) Growth and development of Rumex roots as affected by hypoxic and anoxic conditions. Plant and Soil 136, 145-151

Liao CT, Lin CH (1994) Effect of flooding stress on photosynthetic activities of Momordica charantia Plant Physiology and Biochemistry 32. 479-485

Lu Y, Watanabe A, Kimura M (2004)Contribution of plant photosynthates to dissolved organic carbon in a flooded rice soil. Biogeochemistry 71, 1-15

Malik AI, Colmer TD, Lambers H, Schortemeyer M (2001) Changes inphysiological and morphological traits of roots and shoots of wheat in response to different depths of waterlogging. Australian Journal of Plant Physiology 28, 1121-1131

Mergemann H, Sauter M (2000) Ethylene induces epidermal cell death at the site of adventitious rootemergencein rice. Plant Physiology 124, 609-614

Mittler R, Simon L, Lam E (1997) Pathogen-induced programmed cell death in tobacco. Journal of Cell Science 110, 1333-1344

Munkvold GP, Yang XB (1995) Crop damage and epidemics associated with 1993 floods in Iowa.Plant Disease 79, 95-101

Nakazono M, Tsuji H, Li Y, Saisho D, Arimura S-I, Tsutsumi N, Hirai A (2000) Expression of a gene encoding mitochondrial aldehyde dehydrogenase in rice increases under submerged conditions. Plant Physiology 124, 587-598

Nicolas E, Torrecillas A, Dell’Amico J, Alarcon JJ (2005) The effect of shortterm flooding on the sap flow, gas exchange and hydraulic conductivity of young apricot trees. Trees – Structure and Function 19, 51-57

North GB, Martre P, Nobel PS (2004) Aquaporins account for variations in hydraulic conductance for metabolically active root regions of Agave deserti in wet, dry, and rewetted soil. Plant, Cell and Environment 27, 219-228

Pagnussat GC, Lanteri ML, Lamattina L (2003) Nitric oxide and cyclic GMP are messengers in the indole acetic acid-induced adventitious rooting process. Plant Physiology 132, 1241-1248

Pagnussat GC, Lanteri ML, Lombardo MC, Lamattina L (2004) Nitricoxide mediates the indole acetic acid induction activation of a mitogen-activated protein kinase cascade involved in adventitious root development. Plant Physiology 135, 279-286

Pagnussat GC, Simontacchi M, Puntarulo S, Lamattina L (2002) Nitric oxide is required for root organogenesis. Plant Physiology 129, 954-956

Parelle J, Brendel O, Bodenes C, Berveiller D, Dizengremel P, Jolivet Y, Dreyer E (2006a) Differences in morphological and physiological responses to water-logging between two sympatric oak species (Quercus petraea [Matt.] Liebl., Quercus robur L.). Annals of Forest Science 63, 849-859

Parelle J, Roudaut J-P, Ducrey M (2006b) Light acclimation and photosynthetic response of beech (Fagus sylvatica L.) saplings underartificial shading or natural Mediterranean conditions. Annals of Forest Science 63, 257-266

Parent C, Berger A, Folzer H, Dat J, Crиvecoeur M, Badot P-M, Capelli N (2008a) A novel nonsymbiotichemoglobin from oak: Cellular and tissue specificity of gene expression. New Phytologist 177, 142-154

Parent C, Capelli N, Dat J (2008b) Reactive oxygen species, stress and cell death in plants. Comptes Rendus – Biologies 331, 255-261

Pellinen R, Palva T, Kangasjarvi J (1999) Subcellular localization of ozone-induced hydrogen peroxide production in birch (Betula pendula) leaf cells. The Plant Journal 20, 349-356

Peng H-P, Chan C-S, Shih M-C, Yang SF (2001) Signaling events in the hypoxic induction of alcohol dehydrogenase genein Arabidopsis. Plant Physiology 126, 742-749

Perazzolli M, Dominici P, Romero-Puertas M, Zago E, Zeier J, Sonoda M, Lamb C, Delledonne M (2004) Arabidopsis nonsymbiotic hemoglobin AHb1modulates nitric oxide bioactivity. The Plant Cell 16, 2785-2794

Pezeshki SR (1994) Responses of baldcypress (Taxodium distichum) seedlings tohypoxia: Leaf protein content, ribulose-1,5-bisphosphate carboxylase/oxygenase activityand photosynthesis. Photosynthetica 30, 59-68

Pezeshki SR (1996) Responses of threebottomlandspecies with different flood tolerance capabilities to various flooding regimes. Wetlands Ecology and Management 4, 245-256

Pezeshki SR (2001) Wetland plant responses to soil flooding. Environmental and Experimental Botany 46, 299-312

Pezeshki SR, Chambers JL (1985) Stomatal and photosynthetic response of sweet gum (Liquidambar styraciflua) to flooding. Canadian Journal of Forest Research 15, 371-375

Pezeshki SR, DeLaune RD (1998) Responses of seedlings of selected woody species to soil oxidation-reduction conditions. Environmental and Experimental Botany 40, 123-133

Pezeshki SR, Pardue JH, Delaune RD (1996) Leaf gas exchange and growth of flood-tolerant and flood-sensitive tree species under low soil redox conditions. Tree Physiology 16, 453-458

Postaire O, Verdoucq L, Maurel C (2007) Aquaporins in plants: From molecular structure to integrated functions. Advances in Botanical Research 46,75-136

Probert ME, Keating BA (2000) What soil constraints should be included in crop and forest models? Agriculture, Ecosystems and Environment 82, 273-281

Ram PC, Singh BB, Singh AK, Ram P, Singh PN, Singh HP, Boamfa I, Harren F, Santosa E, Jackson MB, Setter TL, Reuss J, Wade LJ, Pal Singh V,Singh RK (2002) Submergence tolerance in rainfed lowland rice: Physiological basis and prospects for cultivar improvement through marker-aided

breeding. Field Crops Research 76, 131-152

Roberts JK, Callis J, Jardetzky O, Walbot V, Freeling M (1984) Cytoplasmic acidosis as a determinant of flooding intolerance in plants. Proceedings of the National Academy of Sciences USA 81, 6029-6033

Sachs M, Freeling M, Okimoto R (1980) The anaerobic proteins of maize. Cell 20, 761-767

Sachs M, Vartapetian B (2007) Plant anaerobic stress I. Metabolic adaptation to oxygendeficiency. Plant Stress 1, 123-135

Schussler EE, Longstreth DJ (2000) Changes in cell structure during the formation of root aerenchyma in Sagittaria lancifolia (Alismataceae). American Journal of Botany 87, 12-19

Secchi F, Lovisolo C, Uehlein N, Kaldenhoff R, Schubert A (2007) Isolation and functional characterization of three aquaporins from olive (Olea europaea L.). Planta 225, 381-392

Sena Gomes AR, Kozlowski TT (1980) Growth responses and adaptations of Fraxinus pennsylvanica seedlings toflooding. Plant Physiology 66, 267-271

Setter TL, Ellis M, Laureles EV, Ella ES, Senadhira D, Mishra SB, Sarkarung S, Datta S (1997) Physiology andgenetics of submergence tolerance in rice. Annals of Botany 79, 67-77

Singh SN (2001) Exploring correlation between redox potential and other edaphic factors in field and laboratory conditions in relation to methane efflux. Environment International 27, 265-274

Soukup A, Armstrong W, Schreiber L, Franke R, Votrubova O (2007) Apoplastic barriers to radial oxygen loss and solute penetration: A chemical and functional comparison of the exodermis of two wetland species, Phragmites australis and Glyceria maxima New Phytologist 173. 264-278

Soukup A, Votrubova O, Cizkova H (2002) Development of anatomical structure of roots of Phragmites australis New Phytologist 153, 277-287

Steffens B, Wang J, Sauter M (2006) Interactions between ethylene, gibberellin and abscisic acid regulate emergence and growth rate of adventitious roots in deep water rice. Planta 223, 604-612

Subbaiah C, Sachs M (2003) Molecular and cellular adaptations of maize to flooding stress. Annals of Botany 91, 119-127

Summers J, Ratcliffe R, Jackson M (2000) Anoxia tolerance in the aquatic monocot Potamogeton pectinatus: Absence of oxygen stimulates elongation in association with anunusually large Pasteureffect. Journal of Experimental Botany 51, 1413-1422

Tadege M, Brandle R, Kuhlemeier C (1998) Anoxia tolerance in tobacco roots: Effect of overexpression of pyruvatedecarboxylase. Plant Journal 14, 327-335

Tang Z, Kozlowski T (1982) Some physiological and growth responses of Betula papyrifera seedlingsto flooding. Physiologia Plantarum 55, 415-420

Thomson CJ, Greenway H (1991) Metabolic evidence for stelar anoxia in maize roots exposed to low O2 concentrations. Plant Physiology 96, 1294-1301

Tournaire-Roux C, Sutka M, Javot H, Gout E, Gerbeau P, Luu D-T, Bligny R, Maurel C (2003) Cytosolic pH regulates root water transport during anoxic stress through gating of aquaporins. Nature 425, 393-397

Van Breusegem F, Dat JF (2006) Reactive oxygen species in plant cell death. Plant Physiology 141, 384-390

Vandeleur R, Niemietz C, Tilbrook J, Tyerman SD (2005) Roles of aquaporins in root responsesto irrigation. Plant and Soil 274, 141-161

Vartapetian BB (2006) Plant anaerobic stress as a novel trend in ecological physiology, biochemistry, and molecular biology: 2. Further development of the problem. Russian Journal of Plant Physiology 53, 711-738

Vartapetian BB, Andreeva IN, Generozova IP, Polyakova LI, Maslova IP, Dolgikh YI, Stepanova AY (2003) Functional electronmicroscopy in studies of plant response and adaptation to anaerobic stress. Annals of Botany 91,155-172

Vartapetian BB, Jackson M (1997) Plant adaptations to anaerobic stress. Annals of Botany 79, 3-20

Vartapetian BB, Polyakova LI (1998) Protective effect of exogenous nitrate on the mitochondrial ultrastructure of Oryza sativa coleoptiles under strictanoxia. Protoplasma 206, 163-167

Vasellati V, Oesterheld M, Medan D, Loreti J (2001) Effects of flooding and drought on the anatomy of Paspalum dilatatum Annals of Botany 88, 355-360

Visser E, Colmer T, Blom C, Voesenek L (2000)Changes in growth, porosity, and radial oxygen loss from adventitious roots of selectedmono- anddicotyledonous wetland species with contrasting types of aerenchyma. Plant, Cell and Environment 23, 1237-1245

Visser E, Nabben R, Blom C, Voesenek L (1997) Elongationby primary lateral roots and adventitious roots during conditions of hypoxia and high ethylene concentrations. Plant, Cell and Environment 20, 647-653

Visser E, Pierik R (2007). Inhibition of root elongation by ethylene in wetland and non-wetland plant species and the impact of longitudinal ventilation. Plant, Cell and Environment 30, 31-38

Voesenek L, Banga M, Thier R, Mudde C, Harren F, Barendse G, Blom C (1993) Submergence-induced ethylene synthesis, entrapment, and growth in two plant species with contrasting flooding resistances. Plant Physiology 103,783-791

Vuylsteker C, Dewaele E, Rambour S (1998) Auxin induced lateral root formation in chicory. Annals of Botany 81, 449-454

Yamamoto F, Sakata T, Terazawa K (1995) Physiological, morphological and anatomical response of Fraxinus mandshurica seedlings to flooding. Tree Physiology 15, 713-719

Yanar Y, Lipps PE, Deep IW (1997) Effect of soil saturation duration and soil water content on root rot of maize caused by Pythium arrhenomanes Plant. Disease 81, 475-480

Yordanova R, Christov K, Popova L (2004) Antioxidative enzymes in barley plants subjected to soil flooding. Environmental and Experimental Botany 51,93-101

Zarate-Valde JL, Zdsoski RJ, Lauchli AE (2006) Short-term effect of moisture on soil solution pH and soil Eh. on of the exodermis of two wetland species, Phragmites australis and Glyceria maxima New Phytologist 173. , 264-278

Soukup A, Votrubova O, Cizkova H (2002) Development of anatomical structure of roots of Phragmites australis New Phytologist 153, 277-287

Steffens B, Wang J, Sauter M (2006) Interactions between ethylene, gibberellin and abscisic acid regulateemergence and growth rate of adventitious roots in deepwaterrice. Planta 223, 604-612

Subbaiah C, Sachs M (2003) Molecular and cellular adaptations of maize to flooding stress. Annals of Botany 91, 119-127

Summers J, Ratcliffe R, Jackson M (2000) Anoxia tolerance in the aquatic monocot Potamogeton pectinatus: Absence of oxygen stimulates elongation in association with anunusually large Pasteur effect. Journal of Experimental Botany 51, 1413-1422

Tadege M, Brandle R, Kuhlemeier C (1998) Anoxia tolerance in tobacco roots: Effect of overexpression of pyruvatedecarboxylase. Plant Journal 14,327-335

Tang Z, Kozlowski T (1982) Some physiological and growth responses of Betula papyrifera seedlingsto flooding. Physiologia Plantarum 55, 415-420

Thomson CJ, Greenway H (1991) Metabolic evidence for stelar anoxia in maize roots exposed to low O2 concentrations. Plant Physiology 96, 1294-1301

Tournaire-Roux C, Sutka M, Javot H, Gout E, Gerbeau P, Luu D-T, Bligny R, Maurel C (2003) Cytosolic pH regulates root water transport during anoxic stress through gating of aquaporins. Nature 425, 393-397

Van Breusegem F, Dat JF (2006) Reactive oxygen species in plant cell death. Plant Physiology 141, 384-390

Vandeleur R, Niemietz C, Tilbrook J, Tyerman SD (2005) Roles of aquaporinsin root responsesto irrigation. Plant and Soil 274, 141-161

Vartapetian BB (2006) Plant anaerobic stress as a novel trend in ecological physiology, biochemistry, and molecular biology: 2. Further development of the problem. Russian Journal of Plant Physiology 53, 711-738

Vartapetian BB, Andreeva IN, Generozova IP, Polyakova LI, Maslova IP, Dolgikh YI, Stepanova AY (2003) Functional electronmicroscopy in studies of plant response and adaptation to anaerobic stress. Annals of Botany 91,155-172

Vartapetian BB, Jackson M (1997) Plant adaptations to anaerobic stress. Annals of Botany 79, 3-20

Vartapetian BB, Polyakova LI (1998) Protective effect of exogenous nitrate on the mitochondrial ultrastructure of Oryza sativa coleoptiles under strict anoxia. Protoplasma 206, 163-167

Vasellati V, Oesterheld M, Medan D, Loreti J (2001) Effects of flooding and drought on the anatomy of Paspalum dilatatum Annals of Botany 88, 355-360

Visser E, Colmer T, Blom C, Voesenek L (2000)Changes in growth, porosity, and radial oxygen loss from adventitious roots of selected mono- and dicotyledonous wetland species with contrasting types of aerenchyma. Plant, Cell a nd Environment 23, 1237-1245

Visser E, Nabben R, Blom C, Voesenek L (1997) Elongationby primary lateral roots and adventitious roots during conditions of hypoxia and high ethylene concentrations. Plant, Cell and Environment 20, 647-653

Visser E, Pierik R (2007) Inhibition of root elongation by ethylene in wetland and non-wetland plant species and the impact of longitudinal ventilation. Plant Stress 2 (1), 20-27 ©2008 Global Science Books Plant, Cell and Environment 30, 31-38

Voesenek L, Banga M, Thier R, Mudde C, Harren F, Barendse G, Blom C (1993) Submergence-induced ethylene synthesis, entrapment, and growth in two plant species with contrasting flooding resistances. Plant Physiology 103,783-791

Vuylsteker C, Dewaele E, Rambour S (1998) Auxin induced lateral root formation in chicory. Annals of Botany 81, 449-454

Yamamoto F, Sakata T, Terazawa K (1995) Physiological, morphological and anatomical response of Fraxinus mandshurica seedlings to flooding. Tree Physiology 15, 713-719

Yanar Y, Lipps PE, Deep IW (1997) Effect of soil saturation duration and soil water content on root rot of maize caused by Pythium arrhenomanes Plant. Disease 81, 475-480

Yordanova R, Christov K, Popova L (2004) Antioxidative enzymes in barley plants subjected to soil flooding. Environmental and Experimental Botany 51,93-101

Zarate-Valde JL, Zdsoski RJ, Lauchli AE (2006) Short-term effect of moisture on soil solution pH and soil Eh.

PERTANIAN DAN TANAMAN TRANSGENIK: RESIKO DAN MANFAATNYA

By Umesh Prasad Shrivastava

 

disarikan oleh

Muhammad Hatta

Tulisan ini diangkat dari artikel yang berjudul “TRANSGENIC PLANTS: REVIEW ON RISKS AND BENEFITS IN THE ENVIRONMENT OF DEVELOPING COUNTRIES” oleh Umesh Prasad Shrivastava. Tulisan ini tidak menyajikan seluruh isi artikel, tetapi hanya sebagian saja dari artikel aslinya.

Pendahuluan

Organisme transgenik, disebut juga sebagai organisme-yang-dimodifikasi-secara-genetik (OMG), umumnya diproduksi dengan menerapkan teknik-teknik rekayasa genetika atau modifikasi bahan genetik tanaman (Skerritt, 2000). Secara sederhana, modifikasi genetik dapat didefinisikan sebagai tranfer bahan genetik dari spesies yang berbeda (tumbuhan, bakteri atau hewan) atau dari gen yang disintesis secara kimiawi ke dalam tanaman sasaran. Rekayasa genetika tanaman pertama yang sukses dilaporkan pada tahun 1983. Tanaman berdaun lebar seperti tembakau dan tomat dapat dimodifikasi dengan mudah, tetapi tidak ada laporan keberhasilan transformasi genetik pada tanaman biji-bijian seperti padi dan jagung sampai akhir tahun 1980-an.

Transformasi genetik yang berhasil pada tanaman barley dan gandum baru terjadi pada pertengahan 1990-an (Skerritt, 2000). Gen (sebagai bagian dari kromosom daripada sebagai gen tunggal) secara spontan ditransfer dari tanaman rumput seperti Agropyron ke gandum dan varietas turunannya digunakan untuk makanan manusia tanpa kontroversi. Teknik lain seperti penggunaan kultur jaringan tanaman, mutasi induksi, haploid ganda dan hibrida F1 juga melibatkan campur tangan pemuliaan alami tetapi tidak terjadi kontroversi. Hal yang membedakan tanaman rekayasa genetika adalah gen sasaran yang akan digunakan dan fakta bahwa gen sasaran tidak dibatasi hanya berada pada spesies yang sama. Sesungguhnya, potensi untuk bisa menggunakan gen manusia atau hewan pada tanaman merupakan contoh potensi teknologi. Namun demikian, ada kemungkinan bahwa penggunaan yang demikian memiliki dampak negatif pada persepsi publik terhadap rekayasa genetika.

Status tanaman transgenik yang ditanam di lapangan saat ini

Penanaman komersial tanaman transgenik pertama dimulai pada tahun 1995 dan pada tahun 2000, 44,2 juta ha tanaman transgenik telah ditanam di 13 negara (James, 2001). Penggunaan teknologi ini hanya meningkat 11% di seluruh wilayah tersebut pada tahun 1999 dan pada tahun 2000 meluas dengan sangat cepat (84%) di negara-negara berkembang. Di seluruh dunia, tanaman transgenik paling banyak ditanam di negara-negara maju (76% dari total luas) dan 24% di negara-negara berkembang. Sebagian besar daerah menanam empat jenis tanaman, yaitu kedelai (58%), jagung (23%), kapas (12%) dan canola (7%). Daerah pertanaman untuk kedelai dan kapas transgenik meningkat sejak tahun 1999, tetapi jagung dan canola menurun (James, 2001).

Meskipun banyak sifat telah dimasukkan ke dalam banyak spesies tanaman, tetapi hanya sedikit pada tanaman komersial, sebagian besar sifat tahan terhadap herbisida dan tahan terhadap serangga. Pada tahun 2000, 74% dari seluruh tanaman transgenik adalah tahan herbisida, toleran serangga 19% dan 7% mengandung kedua sifat tersebut. Kedelai tahan herbisida adalah tanaman transgenik yang paling banyak ditanam (59% dari area yang ditujukan untuk tanaman transgenik) dan jagung tahan insekta adalah nomor dua (15% dari area global).

Saat ini, ada kerangka berpikir yang kurang tepat sehingga dapat mengaburkan penilaian, aplikasi komersial potensial, dan evaluasi dari teknologi ini. Ketika para pihak industri tanaman transgenik diminta untuk menilai konsekuensi lingkungan yang potensial dari produk mereka, hasilnya tidak mengesankan (Purrington dan Bergelson, 1995). Dengan demikan, ada kebutuhan untuk membuat kerangka berpikir konseptual dan melibatkan lebih banyak ahli ekologi.

Penilaian risiko lingkungan dalam bingkai ekologi

Saat ini telah disadari bahwa bidang pertanian juga merupakan bagian dari "teater ekologi" di mana "permainan evolusi" terus dimainkan (Hutchinson, 1965). Ketika tanaman transgenik ditanam di lapangan, maka tanaman tersebut berinteraksi dengan banyak spesies lain yang tumbuh di sekitar lingkungan tersebut dan melakukan proses ekologi di lapangan pertanian. Sangat alami, tanaman ini adalah "aktor" alam yang memainkan peran penting dalam "teater ekologi." Peran yang dimainkan bersama-sama dengan tanaman transgenik, memunculkan sejumlah pertanyaan, yang disebutkan di bawah ini.

1. Herbivora yang makanannya bergantung pada tanaman tersebut di atas atau di bawah tanah. Bagaimana pengaruhnya terhadap herbivora non-target (dan keanekaragaman hayati)?

2. Tanaman lain, apakah satu jenis atau individu dari spesies lain ? Bagaimana dengan invasi dan transfer gen?

3. Musuh alami organisme ini. Apa konsekuensi dari pengendalian hama alami?

4. Penyerbuk pada bunga mereka. Apa konsekuensi potensial terhadap serangga penyerbuk?

5. Simbion yang hidup di zona akar, seperti mikoriza atau bakteri pengikat nitrogen. Bagaimana mereka berinteraksi?

6. Detritivore dan pengurai yang memakan bagian tanaman mati. Bagaimana hal ini mempengaruhi proses ekologi tanah dalam mempertahankan kesuburan tanah, siklus hara dan pertumbuhan tanaman?

Pengaruhnya terhadap keanekaragaman hayati

Di daerah pertanian intensif, terutama di belahan bumi utara, pertanian merupakan faktor manajemen lingkungan yang signifikan, dan banyak keanekaragaman hayati pada negara-negara itu ada pada lapangan pertanian budidaya (Krebs et al., 1999). Oleh karena itu, perubahan pola manajemen pertanian memiliki konsekuensi yang signifikan bagi keanekaragaman hayati di negara-negara tersebut.

Tanaman tahan herbisida diproyeksi akan memungkinkan pengendalian gulma lebih efisien. Keberatan terhadap kondisi ini mulai ada, terutama di Inggris, yang menekankan konsekuensi negatif pada keanekaragaman hayati di pedesaan. Penjelasan yang diajukan adalah hanya sedikit tanaman biji-bijian yang dapat bertahan hidup untuk menyediakan sumber daya bagi banyak organisme mulai dari invertebrata sampai burung. Kemungkinan pengaruh dari skenario seperti itu didekati dengan pemodelan (Watkinson et al., 2000). Mereka mendebat dengan menggunakan model gulma (Chenopodium album) dan burung penyanyi (skylark, Alauda arvensis) di lapangan untuk memprediksi dampak tanaman gula bit yang tahan herbisida terhadap keanekaragaman hayati pada umumnya. Hasilnya menunjukkan bahwa ada potensi pengaruh negatif yang signifikan terhadap burung pemakan bijian. Keprihatinan tersebut mendorong pemerintah Inggris melarang menanam tanaman transgenik secara komersial dan mulai melakukan pengujian sekala lapangan selama 4 tahun untuk mempelajari apa pengaruh tanaman transgenik tahan herbisida terhadap keanekaragaman hayati (Firbank et al., 1999). Sejauh ini, hasil kajian yang dipublikasikan dari pengaruh tanaman transgenik terhadap keanekaragaman hayati rada tidak sempurna (Hilbeck et al., 2000).

Konsekuensi dari perlarian gen dan agresi

Perlarian gen diakui sebagai bahaya yang berpotensi (Wolfenbarger & Phifer, 2000). Ini dapat terjadi akibat adanya kemungkinan kawin silang dan hibridisasi dengan kerabat liarnya (Elstrand et al., 1999). Konsekuensi ekologisnya bisa menjadi serius jika terjadi perubahan sifat kejaguran atau agresi dari tanaman transgenik. Agresi telah diakui sebagai ancaman utama di Selandia Baru, tetapi agresi juga terjadi di seluruh dunia (Vitousek et al., 1997a). Data yang berkaitan dengan kejaguran atau agresi dari tanaman rekayasa genetika masih langka. Tanaman canola yang mengandung gen Bt-toksin memiliki kejaguran pada kondisi adanya serangga herbivora (Stewart et al., 1997). Dalam sebuah studi jangka panjang terhadap daya bertahan hidup di alam liar dan agresi tanaman tahan herbisida di daerah yang berbeda dari Kepulauan Inggris, didapatkan bahwa tidak ada galur tanaman rekayasa genetika bisa bertahan hidup lebih lama dari 4 tahun bila ditanam di habitat alami (Crawley et al, 2001.). Namun, keberhasilan agresi terkait dengan skala dan agak sulit untuk memprediksi konsekuensinya pada pertanaman skala luas dari tanaman transgenik dari studi skala yang terbatas.

Pengaruhnya terhadap musuh alami

Tanaman tahan insekta targetnya adalah untuk mengurangi kepadatan serangga tertentu yang makan tanaman itu. Akan tetapi, serangga ini juga berfungsi sebagai mangsa dari berbagai musuh alami. Pengaruh potenial yang penting dari tanaman transgenik adalah konsekuensi dari terjadinya perubahan keberadaan dan kepadatan mangsa bagi musuh alami. Jika kepadatan mangsa berkurang, maka pengaruh aliran langsungnya adalah berkurangnya juga kepadatan musuh alami mereka. Kentang transgenik yang mengendalikan kumbang kentang Colorado mungkin bertanggung jawab atas penurunan predator kumbang tanah (Riddick et al., 1998).

Insekta predator dan parasitoid juga sensitif terhadap kualitas mangsanya di satu sisi dan di sisi lain, tanaman menentukan kualitas mangsa. Dengan demikian, terjadi tiga arah interaksi di lapangan (Price et al, 1980.). Banyak contoh tersebut diakui terjadi di lingkungan tanaman transgenik atau lingkungan yang serupa. Sebagi contoh, lebah parasitoid Eulophus pennicornis telah berkurang kemampuan parasitnya terhadap inang cacing-buah-tomat (Lacanobia oleracea) dari tanaman kacang buncis yang mengandung inhibitor tripsin (Bell et al., 2001). Parasitoid juga dapat bereaksi tingkat perilakunya terhadap tanaman inang yang berasal dari tanaman transgenik (Schuler et al., 1999).

Kumbang dewasa, ketika diberi kutu daun yang dipelihara pada kentang transgenik (mengekspresikan lektin snowdrop), mengalami pengaruh negatif. Betina dewasa (tapi tidak yang jantan) umurnya berkurang, peletakan telur dan viabilitas telur menurun (Birch et al, 1999.). Menariknya, larva kumbang yang sama t tidak menderita konsekuensi yang sama (Down et al., 2000).

Dalam kasus lain, kumbang tanah dewasa memakan lebih sedikit mangsa ulatnya ketika mangsanya ini dipelihara pada diet yang mengandung inhibitor proteinase vs diet normal. Pengaruh ini berlangsung lebih lama daripada paparan sebenarnya terhadap mangsa yang dimanipulasi dan tergantung pada usia (Jørgensen & Lovei, 1999). Inhibitor proteinase tampaknya mempengaruhi kesesuaian herbivora sebagai mangsa dari predator ini.

Pengaruhnya terhadap penyerbuk

Lebih dari 25% tanaman pangan dunia diserbuki oleh hewan. Organisme penyerbuk di daerah beriklim dingin sebagian besar adalah serangga, yaitu lebah dan tawon (Buchmann & Nabham 1996). Mereka bisa menjadi agen penyebar serbuk sari dan terpapar ke setiap produk transgenik yang ada dalam serbuk sari atau nektar. Lebah dan tawon dapat dipengaruhi oleh produk transgenik (Malone et al, 2001.), Dengan demikian, studi sistematis terhadap penilaian risiko lingkungan tanaman transgenik tampaknya penting, yang dapat menyakinkan kita bahwa layanan ekosistem tidak dalam keadaan rusak (Lovei et al. , 2001).

Pengaruhnya terhadap organisme tanah dan dekomposer

Bt-toksin dilaporkan terdapat dalam eksudat akar jagung Bt-transgenik. Konsentrasinya cukup untuk membunuh serangga, (Saxena et al., 2000). Akibatnya untuk masa jangka panjang masih belum diketahui. Pengaruh sementara dan perubahan signifikan telah dilaporkan terhadap populasi protozoa dalam tanah pada galur kentang rekayasa genetik (Griffiths et al., 2000). Pemeliharaan kesuburan tanah tergantung pada proses biologi, oleh karenanya pengujian pengaruh tanaman transgenik terhadap proses dalam tanah menjadi sangat penting.

Banyak aktor berperan serta dalam proses ekologis yang berguna dan diperlukan untuk produksi pertanian. Proses ini disebut ‘jasa ekosistem’ (Lovei, 2001). Kerangka pikir dari ‘jasa ekosistem’ ini akan berguna dalam rangka untuk membuat konsep penilaian risiko lingkungan dari tanaman transgenik.

Pengaruhnya terhadap organisme non-target

Organisme bukan target yang memakan tanaman dapat dipengaruhi oleh tanaman tahan insenkta. Misalnya, serbuk sari jagung transgenik, yang diletakkan pada daun milkweed dapat menyebabkan kematian larva kupu-kupu raja (Danais plexippus) (Losey et al., 1999), yang merupakan spesies yang penting pada konservasi alam di Amerika Serikat. Penelitian ini memberikan dampak yang berbahaya bagi jenis lainnya, yang menunjukkan bahwa serbuk sari alami dapat menyebabkan kematian yang signifikan (Hansen Jesse dan Obrycki, 2000). Akan tetapi, larva dari swallowtail hitam (Papilio polyxenes) tidak sensitif terhadap serbuk sari jagung transgenik (Wraight et al., 2000).

Manfaat ekologi potensial

Evaluasi dampak lingkungan dari organisme transgenik sering berpusat pada risiko yang menyertainya. Hal ini dapat dibenarkan, karena setiap, teknologi baru dalam skala besar memang memiliki risiko dan konsekuensi yang tidak terduga. Namun, sejumlah argumen memperlihatkan adanya dampak lingkungan positif dari produksi skala besar tanaman transgenik (Wolfenbarger dan Phifer, 2000).

Mengurangi dampak lingkungan dari pestisida

Herbisida dan pestisida memiliki potensi bahaya bagi pencemaran lingkungan, sementara tanaman transgenik dapat menurunkan penggunaan bahan kimia berbahaya bagi lingkungan untuk mengendalikan gulma dan hama. (Wolfenbarger dan Phifer, 2000). Sebagai contoh, berkurang frekuensi perlakuan dapat membawa berkurangnya pencemaran pestisida jika paralel dengan berkurangnya jumlah pestisida dan herbisida yang digunakan. Konflik klaim telah banyak terjadi tentang pengaruh tanaman toleran herbisida di Amerika Serikat (Carpenter dan Gianessi, 2000). Dengan tidak adanya dokumentasi yang diterbitkan di mana asumsi dan validitas dari argumen tersebut dapat diperiksa, maka tidak ada kesimpulan yang bisa ditarik (Wolfenbarger dan Phifer, 2000).

Peningkatan hasil

Jika hasil panen meningkat, maka sedikit daerah budidaya diperlukan untuk menghasilkan jumlah pangan yang dibutuhkan oleh manusia. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya tekanan terhadap lahan yang belum ditanami dan memungkinkan bisa lebih banyak lahan dibiarkan untuk konservasi. Manfaat lingkungan yang potensial ini mungkin sangat besar terjadi di negara-negara berkembang di mana sebagian besar peningkatan produksi pertanian dihasilkan dari pembukaan daerah-daerah baru.

Konservasi tanah

Tanaman toleran herbisida memungkinkan petani untuk meninggalkan penggunaan herbisida pra tumbuh. Pergeseran ke pengendalian gulma pascatumbuh ini dapat meningkatkan praktek pengolahan tanpa olah dan konservasi tanah, menurunkan erosi tanah, kehilangan air, dan meningkatkan bahan organik tanah (Cannell dan Hawes, 1994).

Fitoremediasi

Penekanan diberikan dalam perbaikan pencemaran tanah dan air in situ dengan tanaman transgenik dan mikro-organisme. Tanaman transgenik dapat menyerap logam berat dari tanah (Gleba et al., 1999) atau mendetoksifikasi polutan (Bizily et al., 2000). Hal ini belum digunakan secara luas, sehingga dampak lingkungannya belum banyak diteliti.

Kesimpulan

Berbagai tanaman transgenik telah diproduksi dengan menggunakan berbagai teknik. Tanaman ini berinteraksi dengan organisme lain dan lingkungan pertanian. Akan tetapi, budidaya tanaman ini menjadi bahan perdebatan. Berbagai pertanyaan tentang faktor risiko telah diajukan oleh banyak penulis, misalnya masalah yang terkait dengan konsekuensi dari perlarian gen, dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati, musuh alami, penyerbuk, organisme tanah, pengurai dan berbagai organisme bukan-sasaran. Di sisi lain, pendukungnya memberikan penekanan dalam mendukung tanaman transgenik dan mengemukakan manfaatnya, misalnya berkurangnya dampak lingkungan dari pestisida dan insektisida, meningkatnya hasil, konservasi tanah dan air, dan fitoremediasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bell, H.A., Fitches, E.C., Down, R.E., Ford, L., Marris, G.C., Edwards, J.P. et al.. (2001). Effect of cowpea trypsin inhibitor (CpTI) on the growth and development of the tomato moth Lacanobia oleracae (Lepidoptera: Noctuidae) and on the success of the gregarious ectoparasitoid Eulophus pennicornis (Hymenoptera: Eulophidae). Pest Management Science, 57, 57-65.

Birch, A.N.E., Geoghean, I.E., Majerus, M.E.N., McNicol, J.W., Hackett, C.A., Gatehouse, A.M.R. et al.. (1999). Tri-trophic interactions involving pest aphid, predatory 2-spot ladybirds and transgenic potatoes expressing snowdrop lectin for aphid resistance. Molecular Breeding, 5, 75-83.

Bizily, S.P., Rugh, C.L. & Meagher, R.B. (2000) Phytodetoxification of hazardousorganomercurials bygenetically engineered plants. Nature Biotechnology, 18, 213- 217.

Buchmann, S.L. & Nabham,G.P. (1996). The forgotten pollinators. Washington, D.C.: Island Press.

Cannell, R.Q. & Hawes, J.D. (1994). Trends in tillage practices in relation to sustainable crop production with special reference to temperate climates. Soil Tillage Research, 30, 245 – 282.

Carpenter, J. & Gianessi, L. (2000). Herbicide use on roundup ready crops. Science, 287, 803-804.

clip_image001Crawley, M.J., Brown, S.L., Hails, R.S., Kohn, D.D. & Rees, M. (2001). Transgenic crops in natural habitats. Nature, 409, 682-683.

Down, R.E., Ford, L., Woodhouse, S.D., Raemaekers, R.J.M., Leitch, B., Gatehouse, J.A. et al.. (2000) Snowdrop lectin (GNA) has no acute toxic effects on a beneficial insect predator, the 2-spot ladybird (Adalia bipunctata L.). Journal of Insect Physiology, 46, 379-391.

Elstrand, N.C., Prentice, H.C. & Hancock, J.F. (1999). Gene flow and introgression from domesticated plants into their wild relatives. Annual Review of Ecology and Systematics, 30, 539-563.

Firbank, L.G., Dewar, A.M., Hill M.O., May, M.J., Perry, J.N., Rothery, P. et al.. (1999). Farm-scale evaluation of GM crops explained. Nature, 399, 727-728.

Gleba, D., Borisjuk, N.V., Borisjuk, L.G., Kneer, R., Poulev, A., Sarzhinskaya, M. et al.. (1999). Use of plant roots for phytoremediation and molecular farming. Proceedings of National Academy of Science U.S.A., 96, 5973 – 5977.

Griffiths, B.S., Geoghean, I.E. & Robertson, W.M. (2000). Testing genetically engineered potato, producing the lectins GNA and ConA, on non-target soil organisms and processes, Journal of Applied Ecology, 37, 159-170.

Hansen Jesse, L.C. & Obrycki, J.J. (2000). Field deposition of Bt transgenic corn pollen: lethal effects on the monarch butterfly. Oecologia, 125, 241-248.

Hilbeck, A., Meier, M.S. & Raps, A. (2000). Review on non-target organisms and Bt-plants. EcoStrat GmbH, Zurich. 77 p.

Hutchinson, G.E. (1965). The ecological theatre and the evolutionary play. New Haven, U.S.A: Yale Univ. Press.

James, C. (1988). Global review of transgenic crops, 1998. ISAAA Briefs No. 8, International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications, Ithaca, NY, USA. http://www.agbiotechnet.com/reports/ isaaa_briefs/Brief8.pdf

Jørgensen, H.B. & Lövei, G.L. (1999). Tritrophic effects on predator feeding: consumption by the carabid Harpalus affinis of Heliothis armigera caterpillars fed on proteinase inhibitor- containing diet. Entomologia Experimentalis et Applicata, 93, 113- 116.

Krattiger, A.F. (1997). Insect resistance to crops: A case study of Bacillus thuringiensis (Bt) and its transfer to developing countries, ISAAA Briefs No. 2, International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications, Ithaca, NY, USA. http://www. agbiotechnet.com/reports/isaaa_briefs/Brief2. pdf

Krebs, J.R., Wilson, J.D., Bradbury, R.B. & Siriwardena, G.M. (1999). The second silent spring. Nature, 400, 611-612.

Losey, J.E., Rayor, L.S. & Carter, M.E. (1999). Transgenic pollen harms monarch larvae. Nature, 399, 214.

Lövei, G.l. (2001). Ecological risks and benefits of transgenic Plants. New Zealand Plant Protection, 54, 93-100.

Malone, L.A., Burgess, E.P.J., Gatehouse, H.S., Voisey, C.R., Tregida, E.L. & Philip, B.A. (2001). Effects of ingestion of a Bacillus thuringiensis toxin and a trypsin inhibitor on honey bee flight activity and longevity. Apidologie, 32, 57-68.

Price, P.W., Bouton, C.E., Gross, P., Bruce, A.M., Thompson, J.N. and Weis, A.E. (1980). Interactions among three trophic levels: influence of plants on interactions between insect herbivores and natural enemies. Annual Review of Entomology, 11, 41-65.

Purrington, C.B. & Bergelson, J. (1995). Assessing weediness of trangenic crops: industry plays plant ecologist. Trends in Ecology and Evolution, 10, 340-342.

Riddick, E.W., Dively, G. & Barbosa, P. (1998). Effect of a seed-mix deployment of Cry3 A transgenic and non transgenic potato on the abundance of Lebia grandis (Coleoptera : Carabidae) and Coleomegilla maculata (Coleoptera : Coccinellidae). Annals of Entomology Society of America, 91, 647 – 653.

Saxena, D., Flores, S. & Stotzky, G. (2000). Insecticidal toxin in root exudates from Bt corn. Nature, 402, 480.

Schuler, T.H., Potting, R.P.J., Denholm , I. & Poppy, G.M. (1999). Parasitoid behaviour and Bt plants. Nature, 400, 825-826.

Skerritt, J. H. (2000). Genetically modified plants: developing countries and the public acceptance debate. AgBiotechNet, Vol. 2 February, ABN040.

Stewart, C.N. jr., All, J.N., Raymer, P.L. & Ramachadran, S. (1997). Increased fitness of transgenic insecticidal rapeseed under insect selection pressure. Molecular Ecology, 6, 773- 779.

Vitousek, P.M., D’Antonio, C.M., Loope, L.L., Rejmanek, M. & Westbrooks, R. (1997). Introduced species: a significant component of human-caused global change. New Zealand Journal of Ecology, 21, 1-16.

Watkinson, A.R., Freckleton, R.P., Robinson, R.A. & Sutherland, W.J. (2000). Predictions of biodiversity response to enetically modified herbicide-tolerant crops. Science, 289, 1554-1557.

Wolfenbarger, L.L. & Phifer, P.R. (2000). The ecological risks and benefits of genetically engineered plants. Science, 290, 2088­2093.

Wraight, C.L., Zangerl, A.R., Carroll, M.J. & Berenbaum, M.R. (2000). Absence of toxicity of Bacillus thuringiensis pollen to black swallowtails under field conditions. Proceedings of National. Academy of. Science U.S.A., 97, 7700-7703.

DEHIDRIN DAN PERANNYA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

Muhammad Hatta

PENDAHULUAN

Pertumbuhan tanaman dan produktivitasnya sangat dipengaruhi oleh keadaan alam dalam bentuk berbagai faktor cekaman biotik dan abiotik. Keterbatasan air atau kekeringan merupakan cekaman abiotik yang paling penting di bidang pertanian (Jaleel et al. 2009). Cekaman kekeringan merugikan pertumbuhan tanaman, menurunkan hasil panen dan mengancam kelangsungan hidup tanaman di lapangan (Xoconostle-Cazares et al., 2011; Jaleel et al. 2009). Kerugian hasil panen yang disebabkan oleh kekeringan mungkin melebihi kerugian oleh penyebab lain. Cekaman kekeringan menyebabkan berkurangnya ukuran daun, pemanjangan batang dan proliferasi akar (Farooq et al. 2006).

Secara lingkungan, kekeringan didefinisikan sebagai pasokan air yang tidak mencukupi yang menyebabkan penurunan produksi tanaman. Kekeringan adalah kesenjangan antara kebutuhan tanaman terhadap air dan pasokan air (Blum, 2011). Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mendapatkan tanaman toleransi kekeringan.

clip_image004

Gambar 1. Padi yang mengalami kekeringan parah

Dari berbagai pendekatan yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, pemuliaan tanaman, baik yang konvensional maupun yang melibatkan rekayasa genetika adalah cara yang efektif dan ekonomis terhadap lingkungan yang kekurangan air (Ashraf, 2010). Akan tetapi, untuk pelaksanaannya, pendekatan seperti ini membutuhkan dasar pengetahuan pada tingkat struktural dan molekuler, bagaimana kekeringan mempengaruhi tanaman. Selain itu, penanda toleransi kekeringan pada tanaman diperlukan untuk memandu proses pemuliaan tanaman (Vaseva et al., 2012).

Tanaman memersepsi dan merespons dengan cepat perubahan status air dengan perubahan pelbagai morfologi, fisiologis, seluler, dan molekuler yang terjadi secara paralel (Xoconostle-Cazares et al, 2011). Tanaman menampilkan berbagai mekanisme untuk mengatasi cekaman kekeringan. Mekanisme utamanya meliputi pembatasan kehilangan air dengan cara meningkatnya resistensi difusi dan penyerapan air melalui sistem perakaran yang prolifik dan penggunaannya yang efisien, dan daun yang lebih kecil dan sekulen untuk mengurangi transpirasi (Farooq et al. 2006). Pada tingkat fisiologis dan metabolisme, kekeringan menyebabkan penghambatan pertumbuhan tunas, penyesuaian luas daun, dan penutupan stomata, pengurangan transpirasi, penghambatan fotosintesis, pergeseran metabolisme karbon dan nitrogen, sintesis zat terlarut kompatibel, dan cekaman oksidatif sekunder (Xoconostle-Cazares et al, 2011).

Farooq et al. (2006) menjelaskan fenomena yang terjadi pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan. Di antara hara nutrisi, ion kalium membantu dalam penyesuaian osmotik dan silikon meningkatkan silifikasi endodermal akar dan meningkatkan keseimbangan air sel. Osmolit berberat molekul rendah, yang meliputi glycine betaine, prolin dan asam amino lain, asam organik, dan poliol, sangat penting untuk mempertahankan fungsi sel di bawah cekaman kekeringan. Zat pertumbuhan tanaman seperti asam salisilat, auksin, gibberrellins, sitokinin, dan asam absisik memodulasi respons tanaman terhadap kekeringan. Poliamina, citrulline dan beberapa enzim bertindak sebagai antioksidan dan mengurangi efek samping dari kekurangan air. Pada tingkat molekul, beberapa gen responsif-kekeringan dan faktor transkripsi telah diidentifikasi, seperti gen yang mengikat elemen responsif-dehidrasi, aquaporin, protein LEA (late embryogenesis abundant) dan dehidrin.

Cekaman abiotik dengan komponen dehidrasinya (kekeringan, salinitas, dan pembekuan) melibatkan peningkatan jumlah protein tidak aktif seperti terdenaturasi, teragregasi atau rusak oksidatif. Oleh karena itu, mempertahankan protein dalam bentuk fungsional mereka, mencegah agregasi protein, mengembalikan protein rusak menjadi bentuk aslinya dan pembuangan polipeptida non-fungsional dan berpotensi membahayakan adalah penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel di bawah kondisi dehidrasi. Untuk mencapai hal ini, tanaman merespons kekeringan dengan cara menyintesis protein pelindung, seperti dehidrin atau protein LEA (Vaseva et al., 2012). Akumulasi protein LEA (late embryogenesis abundant) digambarkan sebagai mekanisme yang paling umum dikembangkan tanaman terhadap cekaman kekeringan (Hanin et al., 2011).

clip_image006

Gambar 2. Tanaman ekotipe Lansberg erecta, satu hari pertama disiram dan berikutnya 11 hari tanpa air (Zhang et al. 2008).

PROTEIN LEA

Protein LEA pertama kali dideskripsikan sekitar 25 tahun yang lalu, yang terakumulasi pada akhir perkembangan benih. Protein ini pertama sekali ditemukan pada tanaman kapas. Disebut protein LEA (late embryogenesis abundant), karena protein ini banyak terakumulasi pada tahap akhir dari embriogenesis. Belakangan, protein LEA ditemukan di jaringan vegetatif tanaman pada cekaman lingkungan dan juga pada bakteri dan invetebrata yang toleran desikasi. Meskipun protein LEA secara luas diasumsikan memainkan peran penting dalam toleransi dehidrasi sel, tetapi fungsi fisiologis dan biokimianya tidak diketahui (Hundertmark and Hincha, 2008); Vaseva et al., 2012).

Hundertmark and Hincha (2008) mengidentifikasi 51 gen yang mengkode protein LEA dalam genom Arabidopsis yang dapat diklasifikasikan ke dalam sembilan kelompok yang berbeda. Kebanyakan gen pengkodean protein LEA memiliki elemen ABRE (absisic acid response) dan/ atau LTRE (low emperature response) dalam promotornya dan banyak gen yang mengandung elemen promotornya masing-masing diinduksi oleh asam absisik, suhu rendah atau kekeringan.

clip_image008

Gambar 3. Kelompok protein LEA dan gennya (Hundertmark and Hincha, 2008).

Berdasarkan strukturnya, akumulasi dalam merespons cekaman kekeringan, garam, dan dingin, serta aktivitasnya in vitro, protein LEA dianggap berpartisipasi dalam melindungi komponen sel dari dehidrasi. Protein LEA dicirikan oleh kandungan glisinnya yang relatif tinggi dan hidrofilik dan kandungan struktur sekunder yang rendah. Umumnya, protein LEA tetap cair pada titik didih, yang merupakan properti yang digunakan sebagai langkah awal dalam pemurnianya (Vaseva et al., 2012). Mayoritas protein LEA diperkirakan sangat hidrofilik dan secara alami tidak terstruktur, tetapi beberapa diprediksi terlipat (Hundertmark and Hincha, 2008; A’goston et al. 2011).

Beberapa sistem nomenklatur telah dilaporkan untuk mengklasifikasikan protein LEA. Awalnya, protein LEA diklasifikasikan menurut berat molekulnya dan dengan demikian diberi nama D7, D11, D19, D29, D34, D73, D95, D113. Kemudian, sebagai respons terhadap meningkatnya jumlah protein LEA yang baru diidentifikasi, maka sistem klasifikasi baru diperkenalkan yang berdasarkan pada komposisi asam amino dan urutan motifnya. Protein LEA diklasifikasikan ke dalam enam kelompok oleh sistem nomenklatur yang berbeda atas dasar urutan motifnya. Dehidrin termasuk dalam protein LEA kelompok 2 (Vaseva et al., 2012) atau D11 (Hundertmark and Hincha, 2008)

clip_image010

Gambar 4. Struktur protein (Armstrong, 2006).

clip_image011 clip_image013

Gambar 5. Protein tidak terstruktur (Uversky, 2011).

DEHIDRIN

Dehidrin adalah subkelompok protein Late Embryogenesis Abundant (LEA). Protein ini banyak mendapat perhatian karena paling banyak dipelajari dan dikarakterisasi di bawah cekaman kekeringan. Semua dehidrin mempunyai domain 15-asam amino yang kaya lisin, EKKGIMDKIKEKLPG, yang diberi nama K-segmen dan biasanya hadir di dekat terminal-C. Ciri khas lain dari dehidrin adalah adanya residu Ser (S-segmen), motif konsensus, T/VDEYGNP (Y-segmen) yang terletak dekat N-terminal, dan segmen yang kurang terlindung, biasanya kaya akan asam amino polar (Φ-segmen). Dehidrin tidak memperlihatkan struktur sekunder yang terdefinisi dengan baik (Vaseva et al., 2012).

clip_image015

Gambar 6. Urutan konservatif segmen K, S, dan Y dari dehidrin

Klasifikasi yang berlaku umum dari dehidrin didasarkan pada bangun strukturalnya, seperti adanya urutan konservasinya, yang disebut dengan segmen Y, S dan K. Segmen K, yang merupakan motif 15 asam amino yang sangat konservatif yang membentuk helik amfifilik, sangat penting karena ditemukan di semua dehidrin (Hanin et al., 2012). Jumlah dan urutan segmen-Y, -S, dan -K menentukan sub kelas dehidrin yang berbeda: YnSKn, YnKn, SKN, Kn, dan KNS (Vaseva et al., 2012).

Menurut Hanin et al. 2011, dehidrin merupakan suatu massa molekul yang memiliki bobot antara 9 – 200 kD. Menurut definisi baru yang berdasarkan motifnya, dehidrin adalah protein yang memiliki setidaknya satu copi urutan konservatif, yang disebut dengan segmen-K, di dalam molekulnya. Segmen K adalah urutan asam amino yang kaya lisin (EKK GIM E/DKI KEK LPG), ada 1–11 copi dekat terminal C dari molekul dehidrin. Dehidrin juga memiliki motif lain, yaitu segmen-Y yang kaya tirosin [konsensus (V/T)D(E/Q) YGNP], ada di dekat terminal-N dan segmen-S yang kaya serin yang terbentuk oleh bidang 4 – 10 residu serin, yang merupakan bagian dari urutan konservatif LHRSGS4–10(E/D)3. Segmen-S bisa mengalami fosforilasi oleh enzim kasein kinase 2 (CK2). Menurut keberadaan segmen K, S, dan Y, maka dehidrin dapat dibagi ke dalam 5 subgrup: Kn, SKn, KnS, YnKn and YnSKn. Dalam kondisi cair, dehidrin ada dalam bentuk kumparan. Dehidrin membentuk ikatan hidrogen maksimum dengan molekul air tetangganya (ikatan hidrogen intermolekul) dan ikatan hidrogen minimum di antara residu asam amino yang berbeda (ikatan hidrogen intramolekul). Karena rendahnya proporsi ikatan hidrogen intramolekul, dehidrin terlihat tidak terstruktur dan memiliki banyak kemiripan dengan protein tak terstruktur lainnya (PTT).

Dehidrin mengandung banyak proporsi asam amino hidrofilik dan dapat berubah bentuk sesuai dengan perubahan lingkungan mikronya. Berdasarkan studi lingkungan, menurunnya status hidrasi dehidrin (kehilangan molekul air dalam lingkungan mikronya) atau penambahan sejumlah besar solut kompatibel (spt gliserol), deterjen (spt SDS), atau garam (spt NaCl) ke dalam larutan dehidrin cair, mengarah ke perubahan bentuk yang dapat dimonitor dengan teknik dichroisme sirkulasi UV jauh. Di bawah kondisi hidrasi yang rendah, segmen-K mengadopsi bentuk α-helik yang mirip dengan α-helik amfipatik kelas A2 yang ditemukan pada apolipoprotein dan α-synuclein. Ketika α-helix terbentuk dalam segmen-K, maka terbentuk asam amino yang bermuatan negatif di sisi heliknya, asam amino hidrofobik di sisi oposisi dari heliknya, dan asam amino bermuatan positif pada penghubung polar-non polar (Hanin et al. 2011).

clip_image016

Gambar 7. Karakteristik LEA protein (Nias, 2013).

KEBERADAAN DEHIDRIN DALAM TANAMAN

Dehidrin terdapat pada berbagai organisme termasuk tumbuhan tingkat tinggi,ganggang, ragi dan cyanobacteria. Dehidrin terakumulasi pada fase akhir embriogenesis. Dalam keadaan normal, dehidrin terdapat di dalam beragam bagian sel, seperti sitosol, nukleus, mitokondria, vakuola, dan sekitar membran plasma. Akan tetapi, umumnya, dehidrin banyak terdapat pada sitoplasma dan nukleus (Rorat, 2006)

Pada keadaan stres yang menyebabkan terjadinya dehidrasi, seperti kekeringan, suhu rendah, dan salinitas, dehidrin terinduksi pada hampir di semua jaringan vegetatif (Rorat, 2006). Karena, ekspresi dari banyak dehidrin meningkat oleh kehadiran ABA, maka dehidrin dikenal juga sebagai protein RAB (responsive to ABA)( Hanin et al. 2011).

Penelitian lokalisasi yang ekstensif mengungkapkan bahwa dehidrin terakumulasi pada jaringan dan sel tertentu pada Arabidopsis dalam kondisi pertumbuhan normal. Dehidrin pada Arabidopsis ERD14 dan LTI29 terdeteksi pada ujung akar tanaman yang tumbuh di bawah kondisi normal. ERD14, LTI29 dan RAB18 terekspresi dalam jaringan pembuluh dan RAB18 dalam sel penjaga stomata. Akumulasi ERD14, LTI29 dan RAB18 terdeteksi di sebagian besar sel pada perlakuan cekaman, khususnya dalam sel jaringan sekitar pembuluh. Ditemukan juga bahwa dehidrin LTI30 absen pada tanaman tanpa cekaman, namun terakumulasi pada perlakuan cekaman, terutama pada jaringan pembuluh dan kantung sari, kemungkinan keduanya diatur baik secara transkripsi maupun secara pascatranskripsi (Vaseva et al., 2012).

FUNGSI DEHIDRIN DALAM TANAMAN

Dehidrin menunjukkan fungsi fisiologis pada kondisi pertumbuhan normal dan fungsi khusus dalam respons terhadap beberapa jenis stres. Tripepi et al. (2011) menemukan bahwa ada empat anggota keluarga dehidrin yang terdapat dalam tanaman zaitun dan dua di antaranya berperan dalam stres. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dehidrin diyakini berfungsi sebagai komponen integral dari respons tanaman zaitun terhadap kondisi stres.

Pola ekspresi dari gen dehidrin sering kali berasosiasi dengan sifat tanaman yang bertoleransi tinggi terhadap pendinginan dan kekeringan (Rorat, 2006).

clip_image018

Gambar 8. Perbandingan urutan asam amino pada fragmen dehidrin cowpea. CPR 22 adalah protein yang terinduksi oleh cekaman kekeringan yang diproduksi daun cowpea. MAT1 dan MAT9 adalah protein yang terkait dengan kematangan pada benih kedelai. U10111 adalah protein yang terinduksi oleh cekaman kekeringan pada daun kedelai. Kotak menunjukkan daerah konservasi (Sumber: Ismail et al. 1999)

Menurut Hanin et al. (2011) dehidrin (DHNs), atau kelompok 2 LEA protein, memainkan peranan penting dalam respons tanaman dan adaptasi terhadap cekaman abiotik. Pada umumnya, dehidrin terakumulasi dalam biji yang sedang masak atau terinduksi dalam jaringan vegetatif akibat cekaman salinitas, dehidrasi, suhu dingin, dan beku. Dehidrin menunjukkan beragam fungsi (misalnya, fungsi chaperon, cryoprotektif, antibeku, penangkap radikal bebas, pengikat ion) pada berbagai cekaman, termasuk kekeringan, salinitas, suhu rendah, logam berat, dan mungkin juga terhadap cekaman biotik.

Diduga bahwa dehidrin berinteraksi dengan membran di bagian dalam sel dan mengurangi dehidrasi. Mekanisme interaksi ini dapat dijelaskan oleh kemampuan dehidrin dalam menggantikan air dan mensolvatasi struktur sitosol melalui kelompok hidroksilnya. Penjelasan lain yang mungkin adalah bahwa dehidrin mencegah interaksi antara dua lapis membran atau kemampuannya mengkelat ion, dan mengurangi pengaruh merusak dari tingginya konsentrasi ion (Vaseva et al., 2012).

Fungsi pasti dari dehidrin belum diketahui dengan jelas, tetapi percobaan in vitro menunjukkan bahwa beberapa dehidrin (tipe YSK(n)) mengikat gelembung lipida yang mengandung fospolipida asam, dan dehidrin lain (K9n)S) terlihat mengikat metal dan memiliki kemampuan menangkap radikal hidroksil, melindungi membran lipida terhadap peroksidasi atau memperlihatkan aktivitas karioprotektif terhadap enzim yang sensitif terhadap pembekuan (Rorat, 2006)

Meskipun fungsi dehidrin belum terdiskripsi dengan baik, beberapa mekanisme dehidrin mengatasi cekaman telah diusulkan, seperti membran stabilisasi, ketahanan terhadap cekaman osmotik, dan perlindungan protein – yang disebut dengan fungsi chaperon (Hanin et al. 2011).

Kelihatannya dehidrin memiliki fungsi spesial. Dehidrin mungkin memainkan peran sebagai osmoregulator pada tipe sel tertentu pada saat tidak ada cekaman. Kehadiran dehidrin alami telah dilaporkan pada berbagai spesies tanaman. Contohnya adalah kacang B61 yang merupakan jenis SK2, dan Craterostigma plantagineum DSP16, yang merupakan jenis dehidrin YSK2. Protein mirip dehidrin alami juga telah dilaporkan pada birch (16 kDa), poplar (50 kDa) dan dogwood (60 kDa). Beberapa dehidrin konstitutif juga cekaman-responsif. Misalnya, dehidrin Arabidopsis RAB18 (YSK-type) hadir dalam inti sel penjaga pada kondisi normal, tetapi juga hadir dalam sitosol di bawah cekaman. Demikian pula, aktivitas promotor yang diinduksi cekaman dalam sel penjaga stomata telah dilaporkan pada C. plantagineum DSP16 dan tomat TAS14 yang keduanya juga jenis dehidrin YSK (Vaseva et al., 2012).

Akumulasi lima dehidrin yang diinduksi cekaman pada Arabidopsis (COR47, LTI29, ERD14, LTI30 dan RAB18), setelah perlakuan dengan suhu rendah, ABA, dan konsentrasi garam tinggi, telah dikarakteristik secara imunologis dengan antibodi protein spesifik. Dehidrin menunjukkan perbedaan yang jelas pada pola akumulasinya dalam merespons cekaman yang berbeda. Dehidrin LTI30 tidak terdeteksi pada tanaman tanpa cekaman. ERD14 (SK2) terakumulasi dalam tanaman tanpa cekaman. LTI29 (SK3) terakumulasi terutama pada suhu rendah, tetapi juga ditemukan pada tanaman yang diperlakukan dengan ABA dan garam. LTI30 (K6) dan COR47 (SK3)terakumulasi terutama dalam merespons suhu rendah, sedangkan RAB18 (Y2SK2) hanya ditemukan pada tanaman yang diperlakukan dengan ABA dan merupakan satu-satunya dehidrin dalam penelitian ini yang terakumulasi dalam biji kering (Vaseva et al., 2012).

PERAN DEHIDRIN DALAM CEKAMAN KEKERINGAN

Kekeringan merupakan salah satu cekaman lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Cekaman kekeringan menginduksi beragam respons fisiologi, biokimia, dan molekuler pada tanaman, termasuk perubahan dalam ekspresi gen. Salah satu gen toleran kekeringan adalah gen yang mengkode dehidrin yang termasuk kelompok II atau D-11 dari keluarga LEA protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekuen gen Gm-LEA-D11 yang dimiliki oleh varietas toleran kekeringan dan toleransi moderat berbeda dengan sekuen gen GmLEA-D11 varietas rentan kekeringan (Savitri et al. 2013) dan jumlah protein dehidrin dalam varietas toleran lebih tinggi daripada jumlah protein pada varietas moderat dan sensitif kekeringan (Arumingtyas et al. 2013).

Akumulasi dehidrin pada tanaman merupakan gambaran umum dari respons tanaman terhadap kekeringan. Kendatipun peran dehidrin yang sesungguhnya dalam mengatasi stres kekeringan belum diketahui dengan pasti, namun dari data hasil penelitian, dehidrin memiliki beberapa fungsi seperti fungsi pelindung terhadap protein dan enzim, fungsi pengisi ruang, dan fungsi penangkap spesies oksigen reaktif (ROS) dan pengikat ion logam.

Dehidrin memiliki fungsi pelindung terhadap protein tanaman. Segmen-K dari dehidrin dapat membentuk buntelan ketika dalam bentuk α helik, sehingga meningkatkan karakter amfipatiknya terhadap interaksi protein-protein atau protein-biomembran. Pengikatan dehidrin ke permukaan protein lain yang sebagian mengalami dehidrasi akan meningkatkan pembentukan amphipathic α-heliks dalam molekul dehidrin dan melindungi protein lain dari kehilangan kandungan air lebih lanjut (yang dapat menyebabkan perubahan bentuk protein yang ireversibel yaitu, denaturasi protein). Kemampuan interaksi antara permukaan molekul dehidrin yang sebagian mengalami dehidrasi dengan protein lain atau biomembran merupakan dasar dari fungsi pelindung dehidrin (Hanin et al. 2011). Dehidrin dapat bertindak seperti chaperon terhadap protein lain dan membantu protein tersebut untuk melipat dengan benar atau mencegah protein agregasi di bawah panas atau stres beku (Hanin et al. 2011). Namun demikian, kemampuan seperti chaperon ini didasarkan pada mekanisme “perisai molekul” daripada aktivitas chaperon yang khas. Menurut konsep perisai ini, dehidrin mampu menghambat interaksi antara molekul protein yang terdenaturasi dan mencegah terbentuknya agregat. Adalah sangat mungkin bahwa dehidrin, sebagai mana protein tak teratur umumnya, mampu mengikat molekul mitranya melalui elemen pengenal pendek. Pada saat interaksi ini berlangsung, molekul dehidrin berpartisipasi dalam proses adaptif struktural yang disebut dengan transisi takteratur-ke-teratur atau pelipatan yang diinduksi (Vaseva et al., 2012).

Selain itu, dehidrin dapat berfungsi sebagai pengisi ruang. Ketika sel-sel kehilangan air, maka distribusi kompleks antar sel dapat berubah mengarah kepada interaksi yang tidak diinginkan serta terjadinya agregasi/denaturasi beberapa protein dan kompleks yang terkait dengan membran. Karena dehidrin dapat terakumulasi dalam jumlah yang relatif besar dalam berbagai kompartemen di dalam sel di bawah dehidrasi, maka dehidrin mungkin hanya bertindak sebagai "pengisi-ruang", yaitu mereka dapat berpartisipasi dalam menjaga jarak orisinal dan tidak-berbahaya dari kompleks antar sel. Singkatnya, karena dehidrin tidak bisa dilipat, banyak terakumulasi dan berkemampuan untuk mengikat air, maka dehidrin di bawah kondisi dehidrasi, dapat membantu menjaga volume sel orisinal, sehingga dapat mencegah rusaknya sel (Hanin et al. 2011).

Beberapa dehidrin, yang mengandung relatif banyak H, R, dan residu asam amino reaktif lain pada permukaannya, juga menunjukkan perilaku sebagai penangkap spesies oksigen reaktif (ROS) dan pengikat ion logam. Kedua fungsi ini dimediasi oleh interaksi langsung antara residu asam amino dengan ROS (anion superoksida radikal O2, singlet oksigen 1O2, radikal hidroksil HO-, Hidrogen peroksida H2O2) atau ion logam (Co2+, Cu2+, Fe2+, Fe3+, Ni2+; Zn2+). Interaksi residu asam amino dengan ROS menyebabkan terjadinya oksidasi residu, sedangkan interaksi dengan ion logam menyebabkan terjadinya pembentukan ikatan kovalen. Pengikatan ion logam bebas mencegah senyawa intraseluler membentuk ROS yang berlebihan karena ion logam bebas dapat bertindak sebagai katalisator sintesis berbagai ROS. Dehidrin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan, ion sequestran, atau transporter ion logam dalam cairan floem tanaman (Hanin et al. 2011). Dehidrin dihipotesiskan juga berfungsi untuk menstabilkan makromolekul dalam sel stres. Dehidrin pada jeruk mengurangi peroksidasi lipid dan menangkap radikal hidroksil. Hasil ini menunjukkan bahwa dehidrin jeruk mengikat logam menggunakan urutan spesifik yang mengandung His. Karena dehidrin jeruk adalah protein penangkap radikal, maka ia dapat mengurangi toksisitas logam dalam sel tanaman di bawah kondisi cekaman air (Hara et al. 2005). Lebih lanjut, dilaporkan bahwa dehidrin tipe KS dapat mengurangi pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS) dari Cu. AtHIRD11, yang merupakan dehidrin tipe KS Arabidopsis, menghambat pembentukan hidrogen peroksida dan radikal hidroksil dalam sistem Cu-askorbat. Aktivitas penghambatan radikal dari AtHIRD11 lebih kuat dibandingkan aktivitas peptida seperti glutathione dan serum albumin. Penambahan Cu2 + mengurangi keadaan tak-teratur, mengurangi kerentanan tripsin, dan mempromosikan asosiasi diri dari AtHIRD11. Menggunakan 27 peptida yang terkait dengan dehidrin tipe KNS dari 14 spesies tanaman, ditemukan bahwa kekuatan aktivitas penurunan ROS ditentukan oleh dua faktor, yaitu kandungan histidin dan panjang peptida (Hara et al. 2013).

clip_image020

clip_image022

Gambar 9. Model sinyal ABA dan gen protein LEA terhadap stres air (sumber: Nakashima et al., 2011).

DAFTAR PUSTAKA

A´goston, B. S., D. Kova´cs, P. Tompa, and A. Perczel. 2011. Full backbone assignment and dynamics of the intrinsically disordered dehydrin ERD14. Biomol NMR Assign. DOI 10.1007/s12104-011-9297-2

Armstrong, C. 2006. High Protein Diet Facts. http://www.ourhealth.com.au /2006/10/high-protein-diet-facts.html diakses 8-4-2013

Arumingtyas, E. L., E. S. Savitri and R. D. Purwoningrahayu, 2013. "Protein Profiles and Dehydrin Accumulation in Some Soybean Varieties (Glycine max L. Merr) in Drought Stress Conditions," American Journal of Plant Sciences, Vol. 4 No. 1. pp. 134-141. doi: 10.4236/ajps.2013.41018.

Ashraf, M. 2010. Inducing drought tolerance in plants: Recent advances. Biotechnol. Adv. 28, 169-183.

Blum, A. 2011. Breeding for Water-Limited Environments. DOI 10.1007/978-1-4419-7491-4_1, © Springer Science+Business Media, LLC 201. doi:10.1093/jxb/ert016

Hanin, M., F. Brini, C. Ebel,Y. Toda, S. Takeda, and K. Masmoudi. 2011. Plant dehydrins and stress tolerance, versatile proteins for complex mechanisms. Plant Signal Behav. 2011 October; 6(10): 1503–1509.

Hara, M., M. Fujinaga and T. Kuboi. 2005. Metal binding by citrus dehydrin with histidine-rich domains. Journal of Experimental Botany, Vol. 56, No. 420, pp. 2695–2703. doi:10.1093/jxb/eri262

Hara, M., M. Kondo and T. Kato. 2013. A KS-type dehydrin and its related domains reduce Cu-promoted radical generation and the histidine residues contribute to the radical-reducing activities. Journal of Experimental Botany

Ismail, A.M., Anthony E. Hall, and Timoty J. Close. 1999. Purification and partial characterization of a dehydrin involved in chiling tolerance during seedling emergence of cowpea. Plant Physiopogy, vol.120, 237 – 244.

Jaleel C. A., P. Manivannan, A. Wahid, M. Farooq, H. J. Al-Juburi, R. Somasundaram and R. Panneerselvam. 2009. Drought Stress in Plants: A Review on Morphological Characteristics and Pigments Composition. International Journal of Agriculture & Biology. ISSN Print: 1560–8530; ISSN Online: 1814–9596. http://www.fspublishers.org

M. Farooq, A. Wahid, N. Kobayashi, D. Fujita, and S.M.A. Basra. 2006. Plant Drought Stress: Effects, Mechanisms and Management. Cell Mol Biol Lett. 11(4):536-56

Michaela Hundertmark and Dirk K Hincha. 2008. LEA (Late Embryogenesis Abundant) proteins and their encoding genes in Arabidopsis thaliana. BMC Genomics 9:118 doi:10.1186/1471-2164-9-118

Nakashima, K., Y. Fujita and K. Yamaguchi-Shinozaki. 2011. SnRK2 protein kinases are essential for the control of drought tolerance and germination. JIRCAS. Diakses 9-4-2013.

Nias. 2013. LEA Protein and cryptobiosis. http://www.nias.affrc.go.jp /anhydrobiosis/Sleeping%20Chironimid/e-taisei.html. diakses 8-4-2013

Rorat T. 2006. Plant dehydrins–tissue location, structure and function. Cell Mol Biol Lett. 11(4):536-56

Savitri, E. S., N. Basuki, N. Aini, E. L. Arumingtyas. 2013. Identification and characterization drought tolerance of gene LEA-D11 soybean (glycine max L. Merr) based on PCR-sequencing. American Journal of Molecular Biology. 3, 32-37. doi:10.4236/ajmb.2013.31004. http://www.scirp.org /journal/ajmb/

Tripepi, M., M. Pöhlschroder and M. B. Bitonti. 2011. Diversity of Dehydrins in Oleae europaea Plants Exposed to Stress. The Open Plant Science Journal. 5, 9-13

Uversky, V. N.. 2011. Intrinsically disordered proteins from A to Z. The International Journal of Biochemistry & Cell Biology. Volume 43: 1090 – 1103. 2011

Vaseva, I., J. Sabotič, J. Šuštar-Vozlič, V. Meglič, M. Kidrič, K. Demirevska, and L. Simova-Stoilova. 2012. The response of plants to drought stress: The role of dehydrins, chaperones, Proteases and protease inhibitors In maintaining cellular Protein function. 1 – 43. In Droughts: New Research. Editors: D. F. Neves and J. D. Sanz. Nova Science Publishers, Inc.

Xoconostle-Cázares, B., F. A. Ramirez-Ortega, L. Flores-Elenes, and R. Ruiz-Medrano. 2011. Drought tolerance in crop plants. Am. J. Plant Physiol. 5, 241–256.

Zhang, Y., W. Xu, Z. Li, X.W. Deng, W. Wu, and Y. Xue. 2008. F-Box protein DOR functions as a novel inhibitory factor for abscisic acid-induced stomatal closure under drought stress in Arabidpsis. Plant Physiology, Vol. 148: 2121 – 2133. www. Plantphysiol.org /cgi/doi/10.1104/ pp.108.126912

JENIS KOMPOS YANG DAPAT MENEKAN PATOGEN

Muhammad Hatta

 

Pendahuluan

Dalam artikelnya yang berjudul “Review on Compost as an Inducer of Disease Suppression in Plants Grown in Soilless Culture”, Aviles et al. (2011) mereview bahan asal dan kondisi kompos yang terkait dengan kemampuan kompos dalam menekan perkembangan patogen. Berikut adalah ringkasan penjelasannya.

Karakteristik fisik dan komposisi kimiawi kompos memegang peran penting terhadap daya tekan kompos terhadap patogen. Kedua faktor ini tidak hanya mempengaruhi jenis dan jumlah mikroorganisme, tetapi juga mempengaruhi patogen, kesehatan akar tanaman, dan status hara tanaman.

Sebagaimana aksi mikroorganisme yang terjadi terhadap penekanan patogen pada tanah, aksi serupa terjadi juga pada kompos. Kedua aksi tersebut adalah aksi spesifik dan dan aksi umum. Pada aksi penekanan spesifik, hanya sedikit spesies yang terlibat. Sebaliknya, pada aksi umum, banyak ragam mikroorganisme yang bekerja sama.

Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi daya tekan kompos terhadap patogen.

Karakteristik Fisik Kompos

Kapasitas udara kompos mempengaruhi pathogen. Kompos yang memiliki kapasitas udara yang lebih tinggi memiliki pengaruh positif terhadap daya tekan terhadap pathogen. Sebaliknya, kompos dengan kapasitas udara yang buruk maka buruk pula daya tekannya terhadap pathogen. Selain kapasitas udara, potensial air merupakan faktor yang juga penting terkait dengan perkembangan penyakit. Potensial air yang negatif menghambat pelepasan spora beberapa Phytoptora spp. Oleh karena itu, untuk mengurangi serangan penyakit busuk akar, perlu dicari komponen dari media kompos yang sarang dan idak terlalu lembab. Sebagai contoh, kompos berbahan kulit kayu umumnya memiliki kapasitas udara > 25% dan laju perkolasi > 2,5 cm per menit dan kompos ini menekan penyakit busuk akar.

pH

Mayoritas penyakit busuk akar tertekan pada pH yang rendah. pH rendah menurunkan pembentukan sporangium dan pelepasan dan pergerakan spora. Akan tetapi, pH tinggi juga dapat menekan patogen seperti penyakit layu Fusarium. Kelihatnnya pH terkait dengan ketersedian unsur hara pada media. pH mengurangi ketersediaan unsur hara seperti P, Mg, Mn, Cu, Zn, dan Fe pada media organik dan patogen lebih rentan terhadap ketidaktersediaan unsur hara tersebut daripada tanaman.

Rasio lignin/selulosa

Rasio lignin/selulosa dari bahan kompos mempengaruhi lama waktu proses pengomposan. Sebagai contoh kulit kayu pinus memiliki kandungan lignin yang tinggi dan selulosa yang rendah dan tidak segera terdekomposisi. Pada kondisi seperti ini, kulit pinus ini tidak banyak memobilisasi unsur N. Terhadap penekanan patogen, pengaruh rasio lignin/selulosa ini sama seperti pengaruh pH, yaitu terkait dengan ketersediaan unsur hara. Oleh karena itu, kompos dengan rasio lignin/selulosa yang tinggi dapat menekan patogen, karena kompos ini lama melapuk, sehingga tidak tersedia unsur hara bagi patogen.

Sumber N, Rasio Amonium/Nitrat, dan Rasio C/N

Kadar nitrogen yang tinggi meningkatkan penyakit layu Fusarium. Kadar nitrogen yang tinggi pada jaringan Rhododendum berkorelasi positif terhadap kerentanan pada penyakit dieback. Selain itu, rasio ammonium terhadap nitrat yang tinggi meningkatkan penyakit layu Fusarium. Oleh karena itu, tambahan nitrat dapat menolong mengurangi penyakit layu Fusarium pada tanaman hortikulura.

Kompos yang memiliki rasio C/N yang tinggi umumnya menghasilkan kadar ammonium yang rendah sehingga juga menekan penyakit layu Fusarium pada tomat. Sebaliknya, kompos yang memiliki rasio C/N rendah, yang juga banyak merilis ammonium, meningkatkan serangan penyakit layu Fusarium.

Tingkat Kematangan Kompos

Tingkat kematangan kompos sangat mempengaruhi tingkat penekanannya terhadap penyakit. Kompos yang masih mentah tidak memiliki daya tekan terhadap penyakit dumping-off pada kecambah mentimun, sementara kompos yang matang mampu menekan penyakit tersebut. Contoh lain, bahan organik yang masih segar tidak memiliki kontrol biologi terhadap R.solani, sementara pada kompos yang matang dimana kandungan haranya seperti glukosa rendah, R. solani terbunuh oleh parasit dan kompetitor biologi lainnya. Potensi kompos dalam menekan penyakit layu Fusarium pada melon dapat berlangsung setidaknya selama setahun dalam pelbagai tempat simpan tanpa kehilangan potensinya

Akan tetapi, bila kompos sudah terlalu matang, maka kompos tidak lagi mendukung aktivitas pengendalian biologi, sehingga potensi daya tekan terhadap penyakit menjadi hilang. Sebagai contoh, gambut yang berwarna lebih gelap dan telah sangat terdekomposisi memiliki aktivitas biologi yang rendah, sehingga kondusif bagi penyakit busuk akar Phytium dan Phytophtora.

Daftar Pustaka

Aviles, M., C. Borrero, and M. I. Trillas. 2011. Review on Compost as an Inducer of Disease Suppression in Plants Grown in Soilless Culture. Dynamic Soil, Dynamic Plant 5 (Special Issue 2), 1 – 11.